PENGGUNAAN
BAHASA TABU DAAM NOVEL SI PARASIT LAJANG KARANGAN
AYU UTAMI: SUATU KAJIAN STILISTIKA
2.1 Deskripsi Teoretis
2.1.1 Hakikat Novel
Novel
berasal dari bahasa italia novella, yang,
yang dalam bahasa Jerman Novelle, dan
dalam bahasa Yunani Novellus. Novel
merupakan salah satu bagian dari prosa berbentuk fiksi. Istilah fiksi berarti rekaan (disingkat: cerkan) atau
cerita khayalan yang merupakan hasil dialog kontemplasi, dan reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Sehingga novel bersifat naratif dapat
diartikan sebagai prosa imajinatif , namun biasanya masuk akal dan mengandung
kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.[1]
Novel
bisa dikatakan sebagai salah satu karya sastra yang populer di berbagai
kalangan karena kisah yang diceritakan mengulas persoalan kehidupan umumnya,
novel merupakan suatu karya sastra yang banyak diterbitkan belakangan ini
karena bermunculan pengarang-pengarang baru,
baik itu pengarang novel teenlet, chicklet maupun novel sastra. Jeremy
Hawthron mengungkapkan dalam Aziez dan Hasim tentang pengertian novel yang
artinya sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang sekarang
biasanya cukup panjang untuk dimuat dalam satu volume atau lebih, yang
tokoh-tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata di masa sekarang
ataupun dimasa lampau, dan yang digambarkan dalam satu plot yang cukup
kompleks. Dapat disimpulkan novel
merupakan sebuah genre sastra yang memiliki bentuk utama prosa, dengan panjang
yang kurang lebih bisa untuk mengisi satu atau dua volume kecil, yang
menggambarkan kehidupan nyata dalam suatu plot yang cukup komplek. Novel
memiliki unsur-unsur intrinsik, tidak terlepas dari kajian struktural, karena
memang dalam kajian struktural terdapat bahasa mengenai bagian-bagian dari
unsur-unsur intrinsik tersebut. Berikut akan dipaparkan sedikit kajian
struktural berdasarkan teori stanton.
2.1.1.1 Struktural Tema
Tema
merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia;
sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Tema membaut cerita
lebih terfokus, menyatu, mengercut, dan berdampak. Cerita. Tema adalah gagasan
yang mendasari karya sastra dan terkadang didukung oleh pelukisan latar, dalam karya lain tersitrat dalam lakuan
tokoh, atau penokohan. Sehingga menjadi
faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur.
2.1.1.2 Struktural
Fakta Cerita
Karakter,
alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi
sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita, apabila dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktal
cerita yang berarti cerita yang disorot dari satu sudut pandang. Unsur-unsur
yang berkaitan dengan fakta cerita dapat dijelaskan sebagai berikut:
Alur
biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja,
peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari
berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada
keseluruhan karya. Sehingga dapat dikatakan bahwa alur merupakan tulang
punggung cerita. Unsur berikutnya yaitu karakter yang biasanya dipakai dalam
dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang
muncul dalam certa. Konteks kedua, karakter merujuk pada berbagai percampuran
dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari
individu-individu tersebut. Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah
peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang berlangsung. Latar juga berwujud waktu-waktu tertentu.
2.1.1.3 Struktural
Sarana Cerita
Struktural
sarana cerita yang menggunakan sudut pandang dan gaya bahasa dalam suatu karya
sastra sebagai sarana cerita.[2]
Terdapat empat sudut pandang yang terdapat pada novel, antara lain sudut
pandang orang pertama-utama; sudut pandan orang ketiga-sampingan; sudut pandang
orang ketiga-tidak terbatas; dan sudut pandang orang pertama-sampingan. Selain
itu, gaya bahasa merupakan bagian dari sarana cerita sebagai cara pengarang menggunakan cara
bahasa.
Dalam
sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang
pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya
bisa sangat berbeda. Pebedaannya secara umum terletak pada bahasa dan menyebar
dalam berbagai aspek kerumitan, ritme, dan banyaknya imaji dan metafora. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan
salah satu sarana pembelajaran sastra yang efektif di sekolah dalam rangka
pembentukan karakter peserta didik menjadi yang lebih baik.
2.1.2 Hakikat Bahasa
Tabu
Tabu
atau pantangan diambil dari bahasa Toga yang berarri suatu pelarangan sosial
yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak
diinginkan oleh suatu kelompok , budaya, atau masyarakat. Tabu bersumber pada
ketakutan, tabu yang berhubungan dengan sesuatu yang genting dan tidak
mengeakkan, tabu yang bersuber dari rasa kesopanan, dan tabu yang berhubungan
dengan masalah kesusilaan. Tabu juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar
dari lingkungan sekitar.
Dalam
kebanyakan masyarakat kata-kata yang berbau seks dianggap tabu, walaupun
demikian agak menarik untuk disimak bahwa dalam banyak kasus dua kata atau
ungkapan yang sama maknanya dapat diperlakukan secara berbeda. Tabu memegang
peranan penting dalam bahasa. Masalah ini pun disinggung dalam ilmu semantuk,
yang memperhatikan tabu sebagai penyebab berubahnya makna kata. Maka, tabu
dikerucutkan menjadi tiga jenis, yaitu Taboo
Of Fear (sesuatu yang menakutkan), Toboo
Of Delicacy ( sesuatu yang tidak mengenakkan) dan Taboo Of Propriety (sesuatu
yang tidak pantas)
2.1.2.1 Taboo Of Fear (sesuatu yang menakutkan)
Taboo Of Fear (sesuatu
yang menakutkan), yang berhubungan dengan subjek dan objek yang bersifat
supranatural telah menyebabkan larangan untuk menyebutkan nama secara langsung.
Misalnya untuk menyebut nama Tuhan atau Allah, orang inggris menyapa Lord, orang Prancis dengan Seigneur, orang Jawa Gusti, orang Sikka dengan Amapu (Bapak Sang Pemilik, atau ‘Yang Di
Atas’
2.1.2.2 Toboo Of Delicacy ( sesuatu yang tidak
mengenakkan),
Toboo Of Delicacy (
sesuatu yang tidak mengenakkan), berhubungan dengan usaha manusia untuk
menghindari pertunjukkan langsung kepada hal-hal yang tidak mengenakkan,
seperti berbagai jenis penyakit dan kematian. Penyakit yang sedang diderita oleh seseorang
adalah sesuatu hal yang tidak mengenakkan bagi yang menderitanya.
Penyakit-penyakit yang notabennya bersifat menjijikan lazimnya dengan
penyebutan Desfeminis (Kata-kata yang
tabu/ tidak enak didengar), dan sebaiknya diganti dengan bentuk penyebutan
eufeminisme. Contoh pengungkapan penyakit yang akan tidak mengenakkan untuk
didengar seperti ayan, kudis, borok,
maka hendaknyanama penyakit tersebut diganti menjadi epilepsy, scabies dan abses.
2.1.2.3 Taboo Of Propriety (sesuatu yang tidak
pantas)
Jenis
tabu yang ketiga, Taboo Of Propriety (sesuatu
yang tidak pantas) yang berkaitan dengan seks, bagian-bagian tubuh dan
fungsinya, serta beberapa kata makian. Perilaku tabu dibedakan menjadi dua,
yaitu (1) tabu perbuatan, misalnya larangan terhadap hubungan badan dengan saudara
kanduang sendiri dan (2) tabu bahasa (perilaku verval), misalnya penggunaan
kata makian.
2.1.3 Hakikat Stilistika
Stilistika
(Stylistics) mengarah pada pengertian studi tentang style (gaya) yang meneliti
fungsi puitik suatu bahasa.[3]
Gaya yang dimaksud, yaitu gaya bahasa sebagi alat untuk meninggikan selera,
artinya dapat meningkatkan minay pembaca/pendengar untuk mnegikuti apa yang
disampaikan pengarang/pembicara, mempengaruhi dan meyakinkan pembaca/pendengar,
menciptsksn perasaan hati tertentu dan memperkuat efek terhadap gagasan yang
disampaikan. Gaya bahasa mencakup diksi, struktur kalimat, majas,citraan dan
pola rima.
Objek
utama analisis stilistika ialah teks dan wacana. Sehingga memiliki dua cara
untuk memahami ruang lingkup stilistika, yaitu menggunakan analisis sistematis
bahasa karya itu sendiri dan analisi mengenai ciri-ciri pembeda sebagai sistem
dengan intensitas pada unsur keindahan. Gaya bahasa disebut pula majas. Gaya
bahsa seseorang pada saat mengungkapkan perasaannya, baik secara lisan maupun
tulisan dapat menimbulkan reaksi pembaca berupa tanggapan. Secara garis besar,
gaya bahasa terdiri atas empat jenis, yaitu majas penegasan, majas
pertentangan, majas perbandingan dan majas sindiran.
2.1.3.1 Majas
Perbandingan
Majas
Pebandingan terdiri dari (1) Majas Metafora,
yaitu majas yang membandingkan dua hal secara langsung. (2) Majas Perumpamaan atua simile, suatu perbandingan dua hal yang berbeda, namun
dinyatakan sama. (3) Majas Hiperbola, yaitu suatu gaya bahasa yang bersifat
melebih-lebihkan. Majas Eufemisme, majas
yang mengungkapkan sesuatu dengan ungkapan yang lebih halus. (5) Majas Personifikasi, gaya bahasa yang
melekatkan sifat insani kepada benda tak bernyawa dan ide yang abstrak. (6) Majas Depersonifikas, gaya bahsa yang
melekatkan sifat benda pada manusia atau insan, (7) Majas Alegori, cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang. (8) Majas
Antitetis, mengadakan perbandingan
antara dua antonim, (9) Majas Antisipasi, mempergunakan lebih dahulu satu atau
beberapa kata sebelum gaagsan atau peristiwa yang sebelumnya terjadi. (10)
Majas Koreksio, gaya bahasa yang berupa penegasan sesuatu kemudian diperbaiki
atau dikoreksi.
2.1.3.2 Majas Sindiran
Majas
sindiran terdiri atas sepuluh gaya bahasa, antara lain (1) Majas Sinisme, sindiran
secara langsung. (2) Majas Sarkasme, majas
paling kasar yang biasa nya diucapkan oleh orang yang sedang marah. (3) Majas
Litotes, pernyataan yang dikecil-kecilkan. (4) Majas Ironi, makna yang
bertentangan dengan maksud untuk berolok-olok. (5) Majas Zeugma adalah gaya
bahasa yang menggunakan gabungan gramatikal, dan beberapa gaya sindiran bahasa
laiinya.
2.1.3.3 Majas
Penegasan.
Gaya
bahasa yang digunakan untuk memberi penegasan atau memperjelas sesuatu. Pradopo
menjelaskan bahwa majas menyebabkan karya sastra menjadi menarik perhatian,
menimbulkan kesegaran, lebih hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan,
2.1.4 Hakikat
Pengajaran Sastra
Pengajaran
tidak hanya berarti penamaan, melainkan terlebih lagi merupakan proses
pemeliharaan, embinaan, dan penumbuhan dari apa yang ditanamkan ke arah
perkembangan yang dijadikan tujuan pengajaran tersebut. Pengajaran sastra
bertujuan membina dan menegmbangkan kepekaa siswa terhadap nilai-nilai, yaitu
indrawi, nilai yang bersifat nalar, nilai bersifat afektif, nilai sosial, ataupun gabungan
keseluruhannya.
2.2 Nilai Relevan
Pada
penelitian sebelumnya terdapat penelitian yang relevan diantaranya yaitu Gaya
Bahasa Pengarang Dalam Novel Tempurung Karangan
Oka Rusmini. Tempurunh adalah sebuah novel tentang hidup para perempuan
berhadapan dengan tubuhnya, agama, budaya, dan masyarakat.
2.3
Kerangka Berfikir
Novel
berasal dari bahasa italia novella, yang,
yang dalam bahasa Jerman Novelle, dan
dalam bahasa Yunani Novellus. Novel
merupakan salah satu bagian dari prosa berbentuk fiksi. Istilah fiksi berarti rekaan (disingkat: cerkan) atau
cerita khayalan yang merupakan hasil dialog kontemplasi, dan reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Sehingga novel bersifat naratif dapat
diartikan sebagai prosa imajinatif , namun biasanya masuk akal dan mengandung
kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.[4]
Novel
memiliki unsur-unsur intrinsik ataralain, yaitu Struktural Tema; Struktural
Fakta Cerita dan Struktural Sarana Cerita. Tema adalah gagasan yang mendasari
karya sastra dan terkadang didukung oleh pelukisan latar, dalam karya lain tersitrat dalam lakuan
tokoh, atau penokohan. Sehingga menjadi
faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur. Bagian dari untus
intrinsik novel berikutnya, yaitu struktural Fakta Cerita yang merupakan
gabungan dari tiga elemen, antara lain karakter, alur dan latar yang berfungsi
sebagai catatankrjadian imajinatif dari sebuah cerita. Sementara paada bagian
cerita disorot dengan unsur sudut pandang. Berikutnya yaitu struktural sarana
cerita yang menggunakan sudut pandang dan gaya bahasa dalam suatu karya sastra
sebagai sarana cerita.[5]
Terdapat empat sudut pandang yang terdapat pada novel, antara lain sudut
pandang orang pertama-utama; sudut pandan orang ketiga-sampingan; sudut pandang
orang ketiga-tidak terbatas; dan sudut pandnag orang pertama-sampinga. Selain
itu, gaya bahasa merupakan bagian dari sarana cerita sebagai cara pengarang menggunakan cara
bahasa.
Beranjak
paga hakikat yang melandai penilitai ini, yaitu Hakikat Bahasa Tabu dan Hakikat
Stilistika, keduanya memiliki relevansi satu sama-lain. Tabu atau pantangan
diambil dari bahasa Toga yang berarri suatu pelarangan sosial yang kuat
terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh
suatu kelompok , budaya, atau masyarakat. Tabu bersumber pada ketakutan, tabu
yang berhubungan dengan sesuatu yang genting dan tidak mengeakkan, tabu yang
bersuber dari rasa kesopanan, dan tabu yang berhubungan dengan masalah
kesusilaan. Maka, tabu dikerucutkan menjadi tiga jenis, yaitu Taboo Of Fear (sesuatu yang menakutkan),
yang berhubungan dengan subjek dan objek yang bersifat supranatural telah
menyebabkan larangan untuk menyebutkan nama secara langsung; Toboo Of Delicacy ( sesuatu yang tidak
mengenakkan), berhubungan dengan usaha manusia untuk menghindari pertunjukkan
langsung kepada hal-hal yang tidak mengenakkan, seperti berbagai jenis penyakit
dan kematian. Jenis tabu yang ketiga, Taboo
Of Propriety (sesuatu yang tidak pantas) yang berkaitan dengan seks,
bagian-bagian tubuh dan fungsinya, serta beberapa kata makian.
Selain
hakika tabu, hakikat stilistika turut mendasari penelitian ini. Stilistika
(Stylistics) mengarah pada pengertian studi tentang style (gaya) yang meneliti
fungsi puitik suatu bahasa.[6]
Gaya yang dimaksud, yaitu gaya bahasa sebagi alat untuk meninggikan selera,
artinya dapat meningkatkan minay pembaca/pendengar untuk mnegikuti apa yang
disampaikan pengarang/pembicara, mempengaruhi dan meyakinkan pembaca/pendengar,
menciptsksn perasaan hati tertentu dan memperkuat efek terhadap gagasan yang
disampaikan. Gaya bahasa mencakup diksi, struktur kalimat, majas,citraan dan
pola rima.
Objek
utama analisis stilistika ialah teks dan wacana. Sehingga memiliki dua cara
untuk memahami ruang lingkup stilistika, yaitu menggunakan analisis sistematis
bahasa karya itu sendiri dan analisi mengenai ciri-ciri pembeda sebagai sistem
dengan intensitas pada unsur keindahan.
Seperti apa kata Gorys Keraf, di mana Riska sudah dapat menjaga susunan ringkasan dari karangan aslinya. Hanya saja terdapat beberapa porsi yang timpang di pembahasannya. Seperti porsi penjelasan Novel yang terlalu boros dan detail ketimbang penjelasan yang lain spt Tabu, Majas, dsb. Tapi diluar itu, ringkasan ini cukup bagus dan enak dibaca sebagai pengantar untuk memahami teori pada karangan aslinya.
BalasHapusTerima Kasih bung Putera.
HapusSeperti apa kata Gorys Keraf, di mana Riska sudah dapat menjaga susunan ringkasan dari karangan aslinya. Hanya saja terdapat beberapa porsi yang timpang di pembahasannya. Seperti porsi penjelasan Novel yang terlalu boros dan detail ketimbang penjelasan yang lain spt Tabu, Majas, dsb. Tapi diluar itu, ringkasan ini cukup bagus dan enak dibaca sebagai pengantar untuk memahami teori pada karangan aslinya.
BalasHapus