Sabtu, 04 Juni 2016

RINGKASAN BAB II SKRIPSI Oleh Riska Yuvista




PENGGUNAAN BAHASA TABU DAAM NOVEL SI PARASIT LAJANG KARANGAN AYU UTAMI: SUATU KAJIAN STILISTIKA

2.1 Deskripsi Teoretis
2.1.1 Hakikat Novel
Novel berasal dari bahasa italia novella, yang, yang dalam bahasa Jerman Novelle, dan dalam bahasa Yunani Novellus. Novel merupakan salah satu bagian dari prosa berbentuk fiksi. Istilah fiksi  berarti rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan yang merupakan hasil dialog kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Sehingga novel bersifat naratif dapat diartikan sebagai prosa imajinatif , namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.[1]
Novel bisa dikatakan sebagai salah satu karya sastra yang populer di berbagai kalangan karena kisah yang diceritakan mengulas persoalan kehidupan umumnya, novel merupakan suatu karya sastra yang banyak diterbitkan belakangan ini karena bermunculan pengarang-pengarang baru,  baik itu pengarang novel teenlet, chicklet maupun novel sastra. Jeremy Hawthron mengungkapkan dalam Aziez dan Hasim tentang pengertian novel yang artinya sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang sekarang biasanya cukup panjang untuk dimuat dalam satu volume atau lebih, yang tokoh-tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata di masa sekarang ataupun dimasa lampau, dan yang digambarkan dalam satu plot yang cukup kompleks.  Dapat disimpulkan novel merupakan sebuah genre sastra yang memiliki bentuk utama prosa, dengan panjang yang kurang lebih bisa untuk mengisi satu atau dua volume kecil, yang menggambarkan kehidupan nyata dalam suatu plot yang cukup komplek. Novel memiliki unsur-unsur intrinsik, tidak terlepas dari kajian struktural, karena memang dalam kajian struktural terdapat bahasa mengenai bagian-bagian dari unsur-unsur intrinsik tersebut. Berikut akan dipaparkan sedikit kajian struktural berdasarkan teori stanton.
2.1.1.1 Struktural Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Tema membaut cerita lebih terfokus, menyatu, mengercut, dan berdampak. Cerita. Tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra dan terkadang didukung oleh pelukisan latar,  dalam karya lain tersitrat dalam lakuan tokoh, atau penokohan. Sehingga menjadi  faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur.
2.1.1.2 Struktural Fakta Cerita
Karakter, alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita, apabila dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktal cerita yang berarti cerita yang disorot dari satu sudut pandang. Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita dapat dijelaskan sebagai berikut:
Alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja, peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Sehingga dapat dikatakan bahwa alur merupakan tulang punggung cerita. Unsur berikutnya yaitu karakter yang biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam certa. Konteks kedua, karakter merujuk pada berbagai percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga berwujud waktu-waktu tertentu.
2.1.1.3 Struktural Sarana Cerita
Struktural sarana cerita yang menggunakan sudut pandang dan gaya bahasa dalam suatu karya sastra sebagai sarana cerita.[2] Terdapat empat sudut pandang yang terdapat pada novel, antara lain sudut pandang orang pertama-utama; sudut pandan orang ketiga-sampingan; sudut pandang orang ketiga-tidak terbatas; dan sudut pandang orang pertama-sampingan. Selain itu, gaya bahasa merupakan bagian dari sarana cerita  sebagai cara pengarang menggunakan cara bahasa.
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Pebedaannya secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek kerumitan, ritme, dan banyaknya imaji dan metafora.  Sehingga, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan salah satu sarana pembelajaran sastra yang efektif di sekolah dalam rangka pembentukan karakter peserta didik menjadi yang lebih baik.
2.1.2 Hakikat Bahasa Tabu
Tabu atau pantangan diambil dari bahasa Toga yang berarri suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok , budaya, atau masyarakat. Tabu bersumber pada ketakutan, tabu yang berhubungan dengan sesuatu yang genting dan tidak mengeakkan, tabu yang bersuber dari rasa kesopanan, dan tabu yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Tabu juga membuat malu, aib, dan perlakuan kasar dari lingkungan sekitar.
Dalam kebanyakan masyarakat kata-kata yang berbau seks dianggap tabu, walaupun demikian agak menarik untuk disimak bahwa dalam banyak kasus dua kata atau ungkapan yang sama maknanya dapat diperlakukan secara berbeda. Tabu memegang peranan penting dalam bahasa. Masalah ini pun disinggung dalam ilmu semantuk, yang memperhatikan tabu sebagai penyebab berubahnya makna kata. Maka, tabu dikerucutkan menjadi tiga jenis, yaitu Taboo Of Fear (sesuatu yang menakutkan), Toboo Of Delicacy ( sesuatu yang tidak mengenakkan) dan Taboo Of Propriety (sesuatu yang tidak pantas)
2.1.2.1 Taboo Of Fear (sesuatu yang menakutkan)
Taboo Of Fear (sesuatu yang menakutkan), yang berhubungan dengan subjek dan objek yang bersifat supranatural telah menyebabkan larangan untuk menyebutkan nama secara langsung. Misalnya untuk menyebut nama Tuhan atau Allah, orang inggris menyapa Lord, orang Prancis dengan Seigneur, orang Jawa Gusti, orang Sikka dengan Amapu (Bapak Sang Pemilik, atau ‘Yang Di Atas’
2.1.2.2 Toboo Of Delicacy ( sesuatu yang tidak mengenakkan),
Toboo Of Delicacy ( sesuatu yang tidak mengenakkan), berhubungan dengan usaha manusia untuk menghindari pertunjukkan langsung kepada hal-hal yang tidak mengenakkan, seperti berbagai jenis penyakit dan kematian.  Penyakit yang sedang diderita oleh seseorang adalah sesuatu hal yang tidak mengenakkan bagi yang menderitanya. Penyakit-penyakit yang notabennya bersifat menjijikan lazimnya dengan penyebutan Desfeminis (Kata-kata yang tabu/ tidak enak didengar), dan sebaiknya diganti dengan bentuk penyebutan eufeminisme. Contoh pengungkapan penyakit yang akan tidak mengenakkan untuk didengar seperti ayan, kudis, borok, maka hendaknyanama penyakit tersebut diganti menjadi epilepsy, scabies dan abses.
2.1.2.3 Taboo Of Propriety (sesuatu yang tidak pantas)
Jenis tabu yang ketiga, Taboo Of Propriety (sesuatu yang tidak pantas) yang berkaitan dengan seks, bagian-bagian tubuh dan fungsinya, serta beberapa kata makian. Perilaku tabu dibedakan menjadi dua, yaitu (1) tabu perbuatan, misalnya larangan terhadap hubungan badan dengan saudara kanduang sendiri dan (2) tabu bahasa (perilaku verval), misalnya penggunaan kata makian.
2.1.3 Hakikat Stilistika
Stilistika (Stylistics) mengarah pada pengertian studi tentang style (gaya) yang meneliti fungsi puitik suatu bahasa.[3] Gaya yang dimaksud, yaitu gaya bahasa sebagi alat untuk meninggikan selera, artinya dapat meningkatkan minay pembaca/pendengar untuk mnegikuti apa yang disampaikan pengarang/pembicara, mempengaruhi dan meyakinkan pembaca/pendengar, menciptsksn perasaan hati tertentu dan memperkuat efek terhadap gagasan yang disampaikan. Gaya bahasa mencakup diksi, struktur kalimat, majas,citraan dan pola rima.
Objek utama analisis stilistika ialah teks dan wacana. Sehingga memiliki dua cara untuk memahami ruang lingkup stilistika, yaitu menggunakan analisis sistematis bahasa karya itu sendiri dan analisi mengenai ciri-ciri pembeda sebagai sistem dengan intensitas pada unsur keindahan. Gaya bahasa disebut pula majas. Gaya bahsa seseorang pada saat mengungkapkan perasaannya, baik secara lisan maupun tulisan dapat menimbulkan reaksi pembaca berupa tanggapan. Secara garis besar, gaya bahasa terdiri atas empat jenis, yaitu majas penegasan, majas pertentangan, majas perbandingan dan majas sindiran.
2.1.3.1 Majas Perbandingan
Majas Pebandingan terdiri dari (1) Majas Metafora, yaitu majas yang membandingkan dua hal secara langsung. (2) Majas Perumpamaan atua simile,  suatu perbandingan dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama. (3) Majas Hiperbola,  yaitu suatu gaya bahasa yang bersifat melebih-lebihkan. Majas Eufemisme, majas yang mengungkapkan sesuatu dengan ungkapan yang lebih halus. (5) Majas Personifikasi, gaya bahasa yang melekatkan sifat insani kepada benda tak bernyawa dan ide yang abstrak. (6) Majas Depersonifikas, gaya bahsa yang melekatkan sifat benda pada manusia atau insan, (7) Majas Alegori, cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang. (8) Majas Antitetis, mengadakan perbandingan antara dua antonim, (9) Majas Antisipasi, mempergunakan lebih dahulu satu atau beberapa kata sebelum gaagsan atau peristiwa yang sebelumnya terjadi. (10) Majas Koreksio, gaya bahasa yang berupa penegasan sesuatu kemudian diperbaiki atau dikoreksi.
2.1.3.2 Majas Sindiran
Majas sindiran terdiri atas sepuluh gaya bahasa, antara lain (1) Majas Sinisme,  sindiran secara langsung. (2) Majas Sarkasme, majas paling kasar yang biasa nya diucapkan oleh orang yang sedang marah. (3) Majas Litotes, pernyataan yang dikecil-kecilkan. (4) Majas Ironi, makna yang bertentangan dengan maksud untuk berolok-olok. (5) Majas Zeugma adalah gaya bahasa yang menggunakan gabungan gramatikal, dan beberapa gaya sindiran bahasa laiinya.
2.1.3.3 Majas Penegasan.
Gaya bahasa yang digunakan untuk memberi penegasan atau memperjelas sesuatu. Pradopo menjelaskan bahwa majas menyebabkan karya sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, lebih hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan,
2.1.4 Hakikat Pengajaran Sastra
Pengajaran tidak hanya berarti penamaan, melainkan terlebih lagi merupakan proses pemeliharaan, embinaan, dan penumbuhan dari apa yang ditanamkan ke arah perkembangan yang dijadikan tujuan pengajaran tersebut. Pengajaran sastra bertujuan membina dan menegmbangkan kepekaa siswa terhadap nilai-nilai, yaitu indrawi, nilai yang bersifat nalar, nilai bersifat afektif,  nilai sosial, ataupun gabungan keseluruhannya.
2.2 Nilai Relevan
Pada penelitian sebelumnya terdapat penelitian yang relevan diantaranya yaitu Gaya Bahasa Pengarang Dalam Novel Tempurung Karangan Oka Rusmini. Tempurunh adalah sebuah novel tentang hidup para perempuan berhadapan dengan tubuhnya, agama, budaya, dan masyarakat.
            2.3 Kerangka Berfikir
Novel berasal dari bahasa italia novella, yang, yang dalam bahasa Jerman Novelle, dan dalam bahasa Yunani Novellus. Novel merupakan salah satu bagian dari prosa berbentuk fiksi. Istilah fiksi  berarti rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan yang merupakan hasil dialog kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Sehingga novel bersifat naratif dapat diartikan sebagai prosa imajinatif , namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.[4]
Novel memiliki unsur-unsur intrinsik ataralain, yaitu Struktural Tema; Struktural Fakta Cerita dan Struktural Sarana Cerita. Tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra dan terkadang didukung oleh pelukisan latar,  dalam karya lain tersitrat dalam lakuan tokoh, atau penokohan. Sehingga menjadi  faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur. Bagian dari untus intrinsik novel berikutnya, yaitu struktural Fakta Cerita yang merupakan gabungan dari tiga elemen, antara lain karakter, alur dan latar yang berfungsi sebagai catatankrjadian imajinatif dari sebuah cerita. Sementara paada bagian cerita disorot dengan unsur sudut pandang. Berikutnya yaitu struktural sarana cerita yang menggunakan sudut pandang dan gaya bahasa dalam suatu karya sastra sebagai sarana cerita.[5] Terdapat empat sudut pandang yang terdapat pada novel, antara lain sudut pandang orang pertama-utama; sudut pandan orang ketiga-sampingan; sudut pandang orang ketiga-tidak terbatas; dan sudut pandnag orang pertama-sampinga. Selain itu, gaya bahasa merupakan bagian dari sarana cerita  sebagai cara pengarang menggunakan cara bahasa.
Beranjak paga hakikat yang melandai penilitai ini, yaitu Hakikat Bahasa Tabu dan Hakikat Stilistika, keduanya memiliki relevansi satu sama-lain. Tabu atau pantangan diambil dari bahasa Toga yang berarri suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok , budaya, atau masyarakat. Tabu bersumber pada ketakutan, tabu yang berhubungan dengan sesuatu yang genting dan tidak mengeakkan, tabu yang bersuber dari rasa kesopanan, dan tabu yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Maka, tabu dikerucutkan menjadi tiga jenis, yaitu Taboo Of Fear (sesuatu yang menakutkan), yang berhubungan dengan subjek dan objek yang bersifat supranatural telah menyebabkan larangan untuk menyebutkan nama secara langsung; Toboo Of Delicacy ( sesuatu yang tidak mengenakkan), berhubungan dengan usaha manusia untuk menghindari pertunjukkan langsung kepada hal-hal yang tidak mengenakkan, seperti berbagai jenis penyakit dan kematian. Jenis tabu yang ketiga, Taboo Of Propriety (sesuatu yang tidak pantas) yang berkaitan dengan seks, bagian-bagian tubuh dan fungsinya, serta beberapa kata makian.
Selain hakika tabu, hakikat stilistika turut mendasari penelitian ini. Stilistika (Stylistics) mengarah pada pengertian studi tentang style (gaya) yang meneliti fungsi puitik suatu bahasa.[6] Gaya yang dimaksud, yaitu gaya bahasa sebagi alat untuk meninggikan selera, artinya dapat meningkatkan minay pembaca/pendengar untuk mnegikuti apa yang disampaikan pengarang/pembicara, mempengaruhi dan meyakinkan pembaca/pendengar, menciptsksn perasaan hati tertentu dan memperkuat efek terhadap gagasan yang disampaikan. Gaya bahasa mencakup diksi, struktur kalimat, majas,citraan dan pola rima.
Objek utama analisis stilistika ialah teks dan wacana. Sehingga memiliki dua cara untuk memahami ruang lingkup stilistika, yaitu menggunakan analisis sistematis bahasa karya itu sendiri dan analisi mengenai ciri-ciri pembeda sebagai sistem dengan intensitas pada unsur keindahan.



[1] Ibid. Hlm 3
[2] Stanton.
[3] Panuti Sudjiman. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pusaka Utama Grafiti.
[4] Ibid. Hlm 3
[5] Stanton.
[6] Panuti Sudjiman. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pusaka Utama Grafiti.

3 komentar:

  1. Seperti apa kata Gorys Keraf, di mana Riska sudah dapat menjaga susunan ringkasan dari karangan aslinya. Hanya saja terdapat beberapa porsi yang timpang di pembahasannya. Seperti porsi penjelasan Novel yang terlalu boros dan detail ketimbang penjelasan yang lain spt Tabu, Majas, dsb. Tapi diluar itu, ringkasan ini cukup bagus dan enak dibaca sebagai pengantar untuk memahami teori pada karangan aslinya.

    BalasHapus
  2. Seperti apa kata Gorys Keraf, di mana Riska sudah dapat menjaga susunan ringkasan dari karangan aslinya. Hanya saja terdapat beberapa porsi yang timpang di pembahasannya. Seperti porsi penjelasan Novel yang terlalu boros dan detail ketimbang penjelasan yang lain spt Tabu, Majas, dsb. Tapi diluar itu, ringkasan ini cukup bagus dan enak dibaca sebagai pengantar untuk memahami teori pada karangan aslinya.

    BalasHapus