Latifah
2 SIS
Program Studi Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Jakarta
2016
PENDAHULUAN
Antropologi
dalam bidang kajian terhadap karya sastra memang tidak sepopuler psikologi atau
sosiologi sastra. Dalam analisis karya sastra menggunakan psikologi sastra maka
kita akan mendapatkan konflik batin yang terbangun dari tokoh. Untuk sosiologi
sastra, akan terlihat bagaimana peran masyarakat dalam membentuk kondisi
sosialnya. Sedangkan dalam antropologi sastra terdapat analisis segi
kebudayaan.
Nyoman
Kutha Ratna menyebutkan bahwa antropologi
merupakan ilmu interdisiplin terakhir yang berkembang setelah psikologi dan
sosiologi. Ditandai oleh kemunculan artikel dari Fernando Poyatos (1988) yang
berjudul Literary Anthropology: A New
Interdiciplinary Aproach to People, Sign, and Literature. Meski demikian,
sumbangsih ilmu antropologi dalam analisis terhadap karya sastra tidak dapat
diremehkan.
Ernest
Cassier dalam Kuntowijoyo (2006: 6) mengatakan dalam pengalaman perjalanan
sejarah manusia, tak selalu kita menemukan harmoni dalam berbagai kegiatan
budaya manusiawi. Sebaliknya, kita justru mendapatkan pertarungan terus menerus
antara berbagai kekuatan yang saling bertentangan. Misalnya, pemikiran ilmiah
bertentangan dan berupaya mendepak pemikiran mistis.
Namun
dalam cerita pendek Belian karya Korrie Layun Rampan, justru kita akan
menemukan bagaimana kekuatan kepercayaan masyarakat suku Dayak di Kalimantan,
khususnya di Temula, terhadap tradisi Belian.
Kepercayaan mistis ini merupakan kajian yang terdapat dalam antropologi sastra.
Pembatasan masalah dalam artikel ini yaitu
pada analisis terhadap sistem religi. Di mana untuk mendapatkan analisa sistem
religi dapat melihat kategori sejarah dari budaya tersebut. Kemudian bagaimana
sistem religi ini berpengaruh terhadap perubahan sosial.
TEORI
Analisa
Kebudayaan
Menurut Koentjara dalam Nyoman Kutha Ratna (2011: 74)
menunjukan tujuh cirri kebudayaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
cirri-ciri antropologis, yaitu: a) peralatan dan perlengkapan kehidupan
manusia, b) mata pencaharian dan sistem ekonomi, c) sistem kemasyarakatan, d)
bahasa, baik secara lisan maupun tulisan, e) kesenian dan berbagai mediumnya,
seperti seni lukis, seni rupa, seni tari, seni drama, dan sebagainya, khususnya
seni sastra, f) sistem pengetahuan, dan g) sistem religi.
Kategori
Sejarah
Williams dalam Kuntowijoyo (2006: 6) menyebutkan bahwa
dalam sosiologi budaya kita menemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu
lembaga-lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya atau norma-norma. Lembaga
budaya menanyakan siapa menghasilkan produk budaya, siapa mengontrol, dan
bagaimana kontrol itu dilakukan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau
simbol-simbol apa yang diusahakan; dan efek budaya menanyakan konsekuensi apa
yang diharapkan dari proses budaya itu.
Berdasarkan sejarah Indonesia, Kuntowijoyo (2006:6)
merekontruksi kategori sejarah dan proses simbolisnya dalam tabel berikut:
Kategori Sejarah
|
Proses Simbolis
|
||
Lembaga
|
Simbol
|
Norma
|
|
Tradisional
Patrimonial
|
Masyarakat
abdi dalem raja
Perintah
|
Mistis
Mistis
|
Komunal
Kepatuhan
|
Kapitalis
|
Professional
Pasar
Penawaran
|
Realis
|
Individualis
|
Teknokratis
|
Profesional
Negara
Pesanan
|
Pseudorealis
|
Modifikasi
prilaku
|
Dalam
tabel tersebut penggunaan kata kategori dinilai lebih tepat daripada periode,
hal ini disebabkan bahwa kategori itu bukan selalu merupakan urutan yang
bergantian, tetapi dapat saling tumpah-tindih, sekalipun pada dasarnya ada
urutan kronologinya.
Pada
kategori tradisional, tampak jelas norma solidaritas dan partisipasi sebagai
ideologi. Di sini kita menemukan bahwa cita-cita egalitarian diwujudkan dalam berbagai mite, tabu, dan tradisi lisan yang menunjang ideologi itu.
Sedangkan dalam patrimonial, yang ideologinya “kawulo-gusti”, kita menemukan
norma yang melegetimasikannya dan berusaha memberikan control Negara atas
masyarakat dengan bentuk simbolis nerupa babad,
tabu, mite, dan hasil-hasil seni yang mengeramatkan raja.
Pada
tabel tersebut, Kuntowijoyo tidak mengkategorikan kolonialisme secara khusus
dikarenakan kolonialisme itu sendiri dapat merupakan percampuran patrimonial
dan kapitalis. Terakhir, kemunculan kategori teknokratis merupakan upaya untuk
menyatakan kekecewaan dengan realisme di satu pihak.
Perubahan
Sosial
Perubahan sosial salah satunya terjadi dengan munculnya
kelas menengah di kota-kota, yang terdiri dari golongan intelektual, pedagang,
dan pengusaha. Pada mulanya golongan kelas menengah ini tidak memusatkan
perhatian pada kebudayaan. Mereka cenderung bicara dalam politik dan ekonomi.
Namun kemudian kelas menengah itu pun akhirnya menjadi pendukung kebudayaan
baru.
Di
kota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada Kebudayaan Nasional,
sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin
jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreativitas kebudayaan daerah dan
tradisional jatuh ke tangan orang kota, rasa kepemilikan orang desa terhadap
tradisi jauh lebih besar. Masalah etnosentrisme tidak lagi menjadi masalah
budaya masa kini, karena di samping adanya kebudayaan nasional kebudayaan
daerah tetap merupakan nilai-nilai yang luhur.
METODE
PENELITIAN
Metode
yang digunakan dalam analisa cerpen Belian
yaitu metode deskriptif analitik. Nyoman Kutha Ratna (2011: 351) menjelaskan
dalam menganalisis karya sastra dapat menggunakan metode deksriptif analitik
atau yang dalam ilmu sosial disebut sebagai metode deskriptif kualitatif.
ANALISIS
Unsur religi yang terdapat dalam cerpen Belian merupakan kepercayaan terhadap
tradisi Belian. Dalam suku Dayak Beuaq, tradisi Belian dilaksanakan sebagai upaya untuk
mengobati penyakit. Adapun ritual yang digunakan berupa tarian yang diiringi
oleh musik berirama keras. Bersamaan dengan itu, dilakukan pula pembakaran
dupa. Mantra-mantra diucapkan dan dipercaya mampu mengusir roh-roh jahat.
Kata-kata
itu seakan mengandung tuah yang memiliki nyawa karena berasal dari para dewa
yang menjaga kesehatan dan kebugaran.kata-kata itu seperti napas yang memenuhi
rongga dada dan terhirup lewat hidung kehidupan. (Belian, hlm. 208)
Alat dalam Belian
dinamakan Selolo yang disentuhkan
pada bagian yang sakit untuk menyembuhkan terbuat dari daun pisang. Animisme
juga terdapat dalam Belian.
Disebutkan sebagai kesembuhan, Belian
biasanya menunjukkan benda-benda penyebab penyakit, biasanya berupa miang,
taring ular, bilah bamboo, batu, bahkan daun puding yang masih segar.
Kadang penyakit itu berupa
tali yang melingkari pinggang yang umumnya membuat anak-anak yang seharusnya
sudah bisa berjalan, seakan lumpuh. Kadang juga berupa beras yang bersemayam di
dada atau di kening yang membuat seseorang menjadi sesak napas atau kepala
menjadi pening. (Belian,
hlm. 211)
Selama ribuan tahun lamanya, masyarakat suku Dayak
mempercayai hal mistis sekalipun harus mengorbankan diri mereka sendiri.
Mereka melakukan pengorbanan
apa saja lewat upacara yang begitu memakan waktu, tenaga, dan biaya agar
kematian itu tak lagi menjemput berulang. (Belian, hlm. 211)
Di
tengah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, masyarakat suku Dayak dalam
cerpen Belian nyatanya masih belum
tertarik menanggalkan tradisi mereka yang sarat akan mitos. Tradisi Belian dalam ilmu pengetahuan rasional
dinilai tidak masuk akal.
“Ibu sudah jemu dengan
keyakinan yang menghambat karena tidak berinti pada akal sehat,” ibu memandang
wajahku, dulu. (Belian,
hlm. 212)
Letak
geografis masyarakat suku Dayak yang berada di Kalimantan Timur memang jauh
dari pusat kota yaitu DKI Jakarta. Berdasarkan tabel yang tertera, masyarakat kota,
berada dalam kategori sejarah Kapitalis. Di mana kondisi masyarakatnya telah
realis dan bersifat individualis. Sedangkan suku Dayak masuk sebagai kategori
sejarah Tradisional Patrimonial. Meski dalam hal ini, bentuk dari patrimonial
tidak ditunjukan, namun simbol dan norma yang muncul tetap sama. Simbol mistis
dan norma komunal.
Di mana
keinginan tokoh Ibu yang diejawantahkan dalam perjuangan Sentaru, puteranya,
untuk mengubah pola pikir masyarakat. Ia kemudian menyekolahkan Sentaru di kota
untuk menggapai gelar dokter dengan pengharapan agar masyarakat mau
meninggalkan Belian.
Namun
keberadaan Sentaru sebagai dokter di Temula ternyata hanya dianggap omong
kosong oleh masyarakat suku Dayak.
“Dokter itu untuk orang
kota,” kata seorang tetua yang kudatangi rumahnya. “Orang desa seperti kami ini
hanya bisa disembuhkan dengan Belian,: ia pandang wajahku seperti menyimpan ketakutan. “Apalagi kalau harus
membayar.” (Belian, hlm. 213).
KESIMPULAN
Unsur
religi yang terdapat dalam cerpen Belian
adalah kepercayaan terhadap tradisi Belian.
Di mana letak geografis masyarakat suku Dayak yang berada di Kalimantan yakni
jauh dari pusat kota sehingga tradisi dan mitos masih dipegang kuat. Kemudian
perubahan sosial yang coba dibawa oleh Sentaru dan ibunya nyatanya masih belum
bisa berpengaruh untuk mengubah keyakinan masyarakat suku Dayak terhadap Belian.
DAFTAR
PUSTAKA
Kuntowijoyo.
2006. Budaya dan Masyarakat.
Yogyakarta: TIARA WACANA.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra
Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar