Oleh: Yudha Prasetya
BAB II
2.1 Landasan Teori
Dalam bab ini dideskripsikan
mengenai hakikat sosiolinguistik, hakikat bilingualisnme, hakikat campur kode, jenis-jenis
campur kode, penyebab campur kode, bahasa asing dalam bahasa Indonesia, pondok
pesantren, dan kerangka berpikir.
2.1.1 Hakikat Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan salah satu
cabang ilmu dalam linguistik yang mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat.
Sosiolinguistik merupakan ilmu interdisipliner, yaitu gabungan dari sosiologi
dan linguistik.
Harimurti Kridaklasana
mendefinisikan sosiologilinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari
hubungan dan melihat keterpengaruhan antara perilaku bahasa dan perilaku sosial
yang ada pada sebuah masyarakat bahasa.
Appel, Hubert, dan Meijer mengatakan
bahwa sosiolinguistik adalah kajian menfebai bahasa dan pemakaiannya dalam
konteks sosial dan kebudayaan. Menurut Suwito, sosiolinguistik adalah studi
interdisipliner yang menggarap masalah –masalah kebahasaan dalam hubungannya
dengan masalah-masalah sosial.
Dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik membahas ihwal seluruh masalah yang berhubungan dengan
organisasi sosial perilaku bahasa. Dapat diketahui juga bahwa kajian
sosiolinguistik meliputi tiga hal utama, yaitu bahasa, masyarakat, dan hubungan
bahasa dengan masyarakat penutur bahasanya.
2.1.2 Hakikat Bilingualisme
Kontak bahasa secara sederhana didefinisikan
sebagai proses saling perngaruh antar berbagai bahasa, dialek, ataupun variasi
yang terjadi akibat adanya interaksi antara para penutur bahasa. Percabangan
yang diciptakan oleh adanya kontak bahasa ini memunculkan sejumlah situasi
kebahasan lainnya, salah satunya adalah bilingualisme.
Istilah bilingualisme dalam bahasa
Indonesia disebut juga dwikebahasaan. Bloomfield mengatakan bahwa bilingualisme
adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama
baiknya. Menurut Lado, bilingualisme adalah kemampuan dua bahasa dengan sama
baik, atau hampir sama baiknya yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua
bahasa bagaimanapun tingkatnya.
Dari beberapa pendapat tentang
bilingualisme di atas, dapat disimpulkan bahwa bilingualisme merupakan
kemampuan penggunaan lebih dari satu bahasa yang dimiliki penutur.
Menurut Achmad, ada beberapa tipe
bilingualism. Pertama, equalingualism
atau balanced bilingualism. Kedua, functional bilingualism. Ketiga, receptive bilingual atau passive bilingualism. Keempat, productive bilingualism. Kelima, symmetrical bilingualism. Keenam, asymmetrical bilingualism. Ketujuh, incipient bilingualism.
Kridaklasana membagi dwikebahasaan
dalam tiga kategori. Pertama, bilingualisme koordinat (coordinate bilingualism). Kedua, bilingualisme majemuk (compound bilingualism). Ketiga,
kedwibahasaan sub-ordinat.
Dari pengertian bilingualisme di
atas, dapat diketahui bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur
dalam menggunakan dua bahasa.
2.1.3 Hakikat Campur Kode
Alih kode dan campur kode memiliki
keterkaitan yang erat, bahkan beberapa ahli tidak bisa membedakan keduanya atau
menganggap keduanya adalah hal yang sama.
Menurut Nababan, alih kode merupakan
peristiwa pergantian bahasa atau ragam bahasa tergantung keperluan bahasa. Chaer
dan Agustina mendefinisikan alih kode sebagai peristiwa peralihan dari satu
kode ke kode yang lain. Menurut Ohoiwutun, alih kode merupakan peralihan
pemakaian dari satu bahasa atau dialek ke suatu bahasa atau dialek lainnya.
Berbeda dengan alih kode, menurut
Nababan mendefinisikan campur kode sebagai penggunaan lebih dari satu bahasa
atau kode dalam satu wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas.
Penggunaan kode-kode bahasa hanya berupa serpihan dan tidak memiliki struktur
gramatika satu bahasa.
Jendra mengatakan bahwa “code switching is a situation where speakers
deliberately change a code being used, namely by switching from one another.
The change is called code is switchin”.
Menurut Dell H Hymes “Code switching has become a common term for
alternate use of two or more languange, or even speech styles”. Menurut
Piettro “code switching is the use of
more than languange by communicants in the execution of a speech act.”
Dari beberapa pengertian di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa alih kode adalah peralihan aatau penggantian
kode bahasa, juga peralihan antar-bahasa, dan juga berupa klausa atau kalimat
lengkap yang mempunyai kaidah gramatikal sendiri, yang dilakukan secara sadar
karena alasan-alasan tertentu. Campur kode adalah peristiwa penggunaan dua buah
kode bahasa atau lebih oleh penutur dalam satu ujaran.
2.1.4 Jenis Campur Kode
Berdasarkan golongannya, Suwito
membedakannya menjadi dua, yaitu (1) campur kode ke dalam, dan (2) campur kode
ke luar. Campur kode ke dalam adalah campur kode dengan bentuk sisipan yang
diambil dari bahasa daerah yang masuk dalam ujaran berbahasa nasional,
sementara campur kode ke luar adalah campur kode dengan bentuk sisipan yang
diambil dari bahasa asing.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMenurut saya tulisan ini belum mumpuni dikatakan ringkasan sebab hal-hal yang ditulis Yudha seperti tulisan artikel yang tidak ringkas. Mungkin sebaiknya, tulisan ini sebisa mungkin dapat lebih diringkas sesuai dengan judul artikel yang diringkasnya agar tidak terkesan seperti bukan ringkasan.
BalasHapus