Judul : Napas Mayat
Penulis : Bagus Dwi Hananto
Edisi : I, April 2015
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 185 Halaman
Harga :
Rp 48.000
Berpredikat
menjadi pemenang ketiga sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2014
menjadi dua mata pedang teruntuk novel Napas Mayat. Pertama, hal tersebut bisa
menjadi daya tarik yang menjanjikan kepuasan untuk pembaca. Tentu isi dari
novel yang telah memenangi sayembara telah teruji oleh juri-juri yang ahli
dibidangnya. Sebaliknya, label tersebut nyatanya tidak mampu mengangkat novel
ini bersaing pada rak terdepan pada toko-toko buku.
Manusia,
sapi dan ayam dengan garis potong pada bagian tubuhnya dalam sampul depan menjadi
simbol dari isi dalam Napas Mayat. Pilihan warna hitam menguatkan kesannya
sebagai novel dewasa. Sejenak membaca judulnya mungkin kita akan mengira sebuah
novel surealis, namun tak banyak porsi surealis yang dituangkan oleh penulis.
Bagus
Hananto, sang penulis menyajikan satu sudut pandang dari tokoh utama yang tak
diberinya nama. Dahulu, Aku adalah anak dari keluarga yang kaya raya namun
semenjak sang ayah menemukan titik jatuhnya, Aku terpaksa bersahabat dengan
kemiskinan. Tak hanya itu, kemiskinan tersebut merupakan penyebab ia dijauhi
oleh kawan-kawan yang dahulu memuja hartanya. Akibatnya, tertanam dendam dalam
diri Aku akan kekejaman dunia terhadapnya.
Salah
satu caranya melampiaskan dendam yaitu dengan melakukan mutilasi terhadap
orang-orang terdekatnya. Tak cukup di sana, ia juga lantas memakan organ-organ tubuh
mayat tersebut. Semua dilakukannya secara sadar dan atas keinginan penuh dari
dalam dirinya.
Pria
kelahiran Kudus, dua puluh empat tahun yang lalu ini mengajak pembaca untuk
mengintip sisi kehidupan lain yang tak tertulis oleh novel-novel populer
kekinian. Membacanya, seakan secara bersama mengutuk kekejaman yang terjadi
pada dunia ini. Kritik banyak dilancarkan terutama prihal kemanusiaan.
Nilai
tentang keberadaan manusia digambarkannya tak lebih dari sekadar materi yang
dimiliki.
Pada
saat disembahlah, aku membayangkan, beginilah rasanya menjadi penguasa. Hanya
karena uang, seseorang dapat jadi tuhan kecil bagi kehidupan. (Hal.
8)
Selama
ini, sebuah novel bicara mengenai aksi kemanusiaan hanya dari tokoh yang
agamis, aktivis, atau mereka dengan asupan pendidikan terbaik. Baru di novel
Napas Mayat kita bisa mendapati seorang yang tak memiliki harapan hidup dan
senang akan daging manusia, masih memikirkan konspirasi Amerika dalam
penindasan negeri Palestina.
Kolonel Sanders itu penipu rasa, bocah!
Dia membawa makanan itu dan memengaruhi manusia dengan euforia keluarga dan
pertemuan basa-basi sementara kemanusiaan merasa mereka makhluk-makhluk suci
meski dibiarkan anak-anak Gaza dibantai dan dicabuti kepala dan ususnya. Kaupun
sudah mencicipi resep itu, bukan? Kau sudah tidak memiliki kemanusiaan, lalu
mengapa takut untuk memakan daging Mama Besar? (Hal.
18)
Kemudian
tentang seorang narapidana dengan hukuman mati yang justru merasa miris kepada
mereka yang di luar penjara. Tentang media membingkai kisah tentangnya. Tak ada
kutukan berarti dari masyarakat meski ia telah membunuh dan memutilasi orang.
Yang justru beredar adalah cerita mitos dan menganggap tokoh tersebut sebagai
orang pedalaman yang pantas dijatuhi kekaguman. Bila begitu, lantas siapa yang
sebenarnya sakit?
Manusia kadang memang merayakan
dirinya dengan melihat sadisme sebagai hiburan; sebetulnya mereka telah sakit,
sama sepertiku. (Hal. 155)
Lalu,
dewasa ini, apa lagi arti dari kemanusiaan?
Latifah
2125142208
Menanggapi hasil resensi novel Napas Mayat yang telah ditulis oleh Latifah, pertama saya secara pribadi merasakan rona ketertarikan pada Novel Napas Mayat berkat resensi yang ditawarkan Latifah. Kedua, saya rasa alasan Latifah menulis resensi di sini belum begitu mengindikasikan ketertarikan Latifah sendiri terhadap novel tersebut, misalnya mengapa akhirnya novel ini mampu menggerakkan Latifah untuk membuat resensinya?
BalasHapusTerimakasih :))
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus