Minggu, 05 Juni 2016

Memutilasi Kemanusiaan oleh Latifah (Resensi dari Novel Napas Mayat Karya Bagus Hananto)



Judul       : Napas Mayat
Penulis    : Bagus Dwi Hananto
Edisi        : I, April 2015
Penerbit   : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal       : 185 Halaman
Harga      :  Rp 48.000

     Berpredikat menjadi pemenang ketiga sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 menjadi dua mata pedang teruntuk novel Napas Mayat. Pertama, hal tersebut bisa menjadi daya tarik yang menjanjikan kepuasan untuk pembaca. Tentu isi dari novel yang telah memenangi sayembara telah teruji oleh juri-juri yang ahli dibidangnya. Sebaliknya, label tersebut nyatanya tidak mampu mengangkat novel ini bersaing pada rak terdepan pada toko-toko buku.
     
     Manusia, sapi dan ayam dengan garis potong pada bagian tubuhnya dalam sampul depan menjadi simbol dari isi dalam Napas Mayat. Pilihan warna hitam menguatkan kesannya sebagai novel dewasa. Sejenak membaca judulnya mungkin kita akan mengira sebuah novel surealis, namun tak banyak porsi surealis yang dituangkan oleh penulis.

     Bagus Hananto, sang penulis menyajikan satu sudut pandang dari tokoh utama yang tak diberinya nama. Dahulu, Aku adalah anak dari keluarga yang kaya raya namun semenjak sang ayah menemukan titik jatuhnya, Aku terpaksa bersahabat dengan kemiskinan. Tak hanya itu, kemiskinan tersebut merupakan penyebab ia dijauhi oleh kawan-kawan yang dahulu memuja hartanya. Akibatnya, tertanam dendam dalam diri Aku akan kekejaman dunia terhadapnya.
Salah satu caranya melampiaskan dendam yaitu dengan melakukan mutilasi terhadap orang-orang terdekatnya. Tak cukup di sana, ia juga lantas memakan organ-organ tubuh mayat tersebut. Semua dilakukannya secara sadar dan atas keinginan penuh dari dalam dirinya.

     Pria kelahiran Kudus, dua puluh empat tahun yang lalu ini mengajak pembaca untuk mengintip sisi kehidupan lain yang tak tertulis oleh novel-novel populer kekinian. Membacanya, seakan secara bersama mengutuk kekejaman yang terjadi pada dunia ini. Kritik banyak dilancarkan terutama prihal kemanusiaan.

     Nilai tentang keberadaan manusia digambarkannya tak lebih dari sekadar materi yang dimiliki.
Pada saat disembahlah, aku membayangkan, beginilah rasanya menjadi penguasa. Hanya karena uang, seseorang dapat jadi tuhan kecil bagi kehidupan. (Hal. 8)
Selama ini, sebuah novel bicara mengenai aksi kemanusiaan hanya dari tokoh yang agamis, aktivis, atau mereka dengan asupan pendidikan terbaik. Baru di novel Napas Mayat kita bisa mendapati seorang yang tak memiliki harapan hidup dan senang akan daging manusia, masih memikirkan konspirasi Amerika dalam penindasan negeri Palestina.
     Kolonel Sanders itu penipu rasa, bocah! Dia membawa makanan itu dan memengaruhi manusia dengan euforia keluarga dan pertemuan basa-basi sementara kemanusiaan merasa mereka makhluk-makhluk suci meski dibiarkan anak-anak Gaza dibantai dan dicabuti kepala dan ususnya. Kaupun sudah mencicipi resep itu, bukan? Kau sudah tidak memiliki kemanusiaan, lalu mengapa takut untuk memakan daging Mama Besar? (Hal. 18)
     Kemudian tentang seorang narapidana dengan hukuman mati yang justru merasa miris kepada mereka yang di luar penjara. Tentang media membingkai kisah tentangnya. Tak ada kutukan berarti dari masyarakat meski ia telah membunuh dan memutilasi orang. Yang justru beredar adalah cerita mitos dan menganggap tokoh tersebut sebagai orang pedalaman yang pantas dijatuhi kekaguman. Bila begitu, lantas siapa yang sebenarnya sakit?  

     Manusia kadang memang merayakan dirinya dengan melihat sadisme sebagai hiburan; sebetulnya mereka telah sakit, sama sepertiku. (Hal. 155)

     Lalu, dewasa ini, apa lagi arti dari kemanusiaan?
Latifah
2125142208

2 komentar:

  1. Menanggapi hasil resensi novel Napas Mayat yang telah ditulis oleh Latifah, pertama saya secara pribadi merasakan rona ketertarikan pada Novel Napas Mayat berkat resensi yang ditawarkan Latifah. Kedua, saya rasa alasan Latifah menulis resensi di sini belum begitu mengindikasikan ketertarikan Latifah sendiri terhadap novel tersebut, misalnya mengapa akhirnya novel ini mampu menggerakkan Latifah untuk membuat resensinya?
    Terimakasih :))

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus