Latifah
2 SIS
Program Studi Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Jakarta
2016
PENDAHULUAN
Antropologi dalam bidang kajian terhadap
karya sastra memang tidak sepopuler psikologi atau sosiologi sastra. Dalam
analisis karya sastra menggunakan psikologi sastra maka kita akan mendapatkan
konflik batin yang terbangun dari tokoh. Untuk sosiologi sastra, akan terlihat
bagaimana peran masyarakat dalam membentuk kondisi sosialnya. Sedangkan dalam
antropologi sastra terdapat analisis segi kebudayaan.
Nyoman Kutha Ratna menyebutkan bahwa antopologi merupaka ilmu interdisiplin
terakhir yang berkembang setelah psikologi dan sosiologi. Ditandai oleh
kemunculan artikel dari Fernando Poyatos (1988) yang berjudul Literary Anthropology: A New
Interdiciplinary Aproach to People, Sign, and Literature. Meski demikian,
sumbangsih ilmu antropologi dalam analisis terhadap karya sastra tidak dapat
diremehkan. Sebagai cerminan masyarakat, karya sastra tidaklah hanya terdiri
dari segi psikologis atau sosialnya saja. Suwardi Edraswara mengatakan
antropologi dan sastra memiliki kesamaan yaitu memperhatikan aspek manusia
dengan seluruh prilakunya yang kemudian berkembang menjadi sebuah budaya.
Sebuah kebudayaan dalam masyarakat tentu
tidak terjadi dengan sendirinya. Untuk melihat bagaimana masyarakat, maka ada
sebuah ideologi yang familiar digunakan dalam membaca masyarakat yaitu
marxisme. Menurut Karl Marx, melihat masyarakat yang utama yaitu melalui
perekonomian. Agenda besarnya yakni menghilangkan pertentangan kelas yang
menurutnya terjadi akibat kemunculan era kapitasilistik setelah runtuhnya
sistem feodalisme.
Jhon Clammer yang kemudian mengulas
pemikiran kalangan para marxisme terhadap antropologi dalam memahami gejala
ekonomi di dalam masyarakat. Dalam esai-esainya, Clammer menjelaskan
persinggungan antara antropologi dan marxisme. Di mana ekonomi yang merupakan
kajian dalam marxisme memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan
kebudayaannya yang menjadi kajian dari ilmu antropologi.
Sebagaimana historisnya, pada zaman
Yunani kuno terdahulu, para penguasa mendongengkan tentang macam-macam Dewa agar
masyarakatnya menyibukkan diri dengan menyembah dan menjadi tunduk kepada
mereka. Cara-cara seperti ini yang kemudian dimodifikasi oleh kaum kapitalis
sehingga mampu mempengaruhi masyarakat bahkan secara tidak sadar.
Keberadaan kapitalisme yang kemudian
memanfaatkan budaya sebagai alat terdapat dalam novel Puya ke Puya karya Faisal
Oddang. Karya yang menjadi pemenang keempat sayembara menulis novel Dewan
Kesenian Jakarta 2014 ini menjadikan Toraja dan perangkat budayanya sebagai
latar. Salah satunya yaitu upacara pemakaman yang bernama Rambu Solo di mana
dalam upacara tersebut pihak keluarga yang ditinggalkan diharuskan memiliki
modal yang cukup besar. Terutama untuk keluarga dari pemuka adat. Bertaruhlah
antara gengsi keluarga dengan penjualan tanah adat kepada seorang pengusaha
yang telah lama mengincar.
Kemudian antropologi marxisme berperan
dalam menyibak kekentalan adat istiadat Toraja yang justru disuburkan demi
kepentingan kaum kapitalis. Mungkin saja apa yang ditemukan dalam analisis
terhadap novel ini merupakan refleksi dari keadaan budaya masyarakat hari ini.
ISI
Kapitalisme
Kemunculan istilah kapitalisme dalam
sejarahnya tidak lepas dari sebuah peristiwa besar yang kita kenal dengan
Revolusi Industri Perancis yang terjadi pada 1789 (Tan Malaka: 1947). Revolusi
saat itu bicara tentang ketidakadilan sistem feodalisme yang diterapkan oleh
kerajaan di Perancis. Setiap rakyat yang bukan keturunan ningrat atau bagian
dari gereja, maka harus menanggung beban pajak yang besar. Seluruh tanah dan
produksi dikuasai oleh kerajaan yang mana rakyat hanya bisa hidup pas-pasan
saja.
Keruntuhan feodalisme di Perancis lalu
digantikan dengan kepemilikan tanah secara pribadi. Di mana kemudian eksislah
kaum pedagang memproduksi beragam kebutuhan. Sejak itu kemudian dunia mengenal
yang namanya logika pasar.
Alangkah baiknya bila kita mengenal dulu
tentang perdagangan. Untuk bisa berdagang, maka harus ada produk yang
dihasilkan. Dalam praktek menghasilkan produk, ada tiga unsur penting yang tak
pernah lepas, yaitu alat produksi, bahan baku, dan tenaga kerja.
Di dalam pasar, antar produk kemudian
bersaing menjual keunggulannya masing-masing. Tujuan utama dalam perdagangan
adalah keuntungan, maka pengusaha melakukan banyak cara agar bisa menekan biaya
produksi hingga keuntungan yang didapatpun akan lebih besar. Tidak seperti alat
produksi dan bahan baku yang termasuk dalam biaya bersifat konstan, tenaga
kerja masuk dalam biaya variabel alias dapat berubah. Inilah yang kemudian
dimanfaatkan oleh pengusaha untuk menekan biaya tersebut.
Kritik dari Karl Marx terhadap kondisi
pasar tersebut ialah, kapitalisasi yang dilakukan oleh pengusaha. Di mana para
pekerja dibuat teralienasi dari produk yang mereka buat sendiri. Bahwa pekerja
tidak memiliki hak untuk memegang saham pada perusahaan tempat mereka bekerja.
Para pengusaha tersebut sibuk memperkaya diri mereka sendiri tanpa memikirkan
nasib dari pekerja mereka. Di sinilah terjadi kesenggangan antara dua kelompok
yang oleh Marx di sebut pertentangan kelas. Marx sendiri membaginya menjadi dua
kelas, borjuis dan proletar.
Marxisme Antropologi
Dalam pandangan Marxisme, lingkup
antropologi dekat kaitannya dengan pembagasan ekonomi politik. Pendekatan
antropologi marxisme menurut Clammer (2003:1),
memang kalah popularitasnya dari pendekatan yang jauh lebih umum
digunakan dalam jagat penelitian antropologi seperti fungsionalisme struktural
dari Malinowski atau Radcliffe Brown hingga Raymond Firth yang matang dengan
konsep struktur dan fungsi.
Hingga kemudian muncul tokoh-tokoh
seperti Althusser (1971), Godelier (1977), yang menggunakan Marxisme untuk
membedah masyarakat. Kemudian mengakhiri dengan konsep kebudayaan dan
mengkonversinya menjadi analisis tentan ideologi. Gagasan Marxis sendiri yaitu
tentang mode produksi, organisasi produksi, hubungan sosial produksi, atau
hubungan-hubungan dialektis antara basis dan superstruktur masyarakat.
KRITERIA ANALISIS
Kategori Sejarah
Williams
dalam Kuntowijoyo (2006: 6) menyebutkan bahwa dalam sosiologi budaya kita
menemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga-lembaga budaya, isi budaya,
dan efek budaya atau norma-norma. Lembaga budaya menanyakan siapa menghasilkan
produk budaya, siapa mengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan; isi
budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa yang diusahakan;
dan efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya
itu.
Berdasarkan sejarah Indonesia, Kuntowijoyo (2006:6)
merekontruksi kategori sejarah dan proses simbolisnya dalam tabel berikut:
Kategori
Sejarah
|
Proses
Simbolis
|
||
Lembaga
|
Simbol
|
Norma
|
|
Tradisional
Patrimonial
|
Masyarakat abdi dalem
raja
Perintah
|
Mistis
Mistis
|
Komunal
Kepatuhan
|
Kapitalis
|
Professional
Pasar
Penawaran
|
Realis
|
Individualis
|
Teknokratis
|
Profesional
Negara
Pesanan
|
Pseudorealis
|
Modifikasi prilaku
|
Dalam
tabel tersebut penggunaan kata kategori dinilai lebih tepat daripada periode,
hal ini disebabkan bahwa kategori itu bukan selalu merupakan urutan yang
bergantian, tetapi dapat saling tumpah-tindih, sekalipun pada dasarnya ada
urutan kronologinya.
Pada
kategori tradisional, tampak jelas norma solidaritas dan partisipasi sebagai
ideologi. Di sini kita menemukan bahwa cita-cita egalitarian diwujudkan dalam berbagai mite, tabu, dan tradisi lisan yang menunjang ideologi itu.
Sedangkan dalam patrimonial, yang ideologinya “kawulo-gusti”, kita menemukan
norma yang melegetimasikannya dan berusaha memberikan control Negara atas
masyarakat dengan bentuk simbolis nerupa babad,
tabu, mite, dan hasil-hasil seni yang mengeramatkan raja.
Pada
tabel tersebut, Kuntowijoyo tidak mengkategorikan kolonialisme secara khusus
dikarenakan kolonialisme itu sendiri dapat merupakan percampuran patrimonial
dan kapitalis. Terakhir, kemunculan kategori teknokratis merupakan upaya untuk
menyatakan kekecewaan dengan realisme di satu pihak.
Perubahan
Sosial
Perubahan sosial salah satunya terjadi dengan munculnya
kelas menengah di kota-kota, yang terdiri dari golongan intelektual, pedagang,
dan pengusaha. Pada mulanya golongan kelas menengah ini tidak memusatkan
perhatian pada kebudayaan. Mereka cenderung bicara dalam politik dan ekonomi.
Namun kemudian kelas menengah itu pun akhirnya menjadi pendukung kebudayaan
baru.
Di
kota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada Kebudayaan Nasional,
sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin
jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreativitas kebudayaan daerah dan
tradisional jatuh ke tangan orang kota, rasa kepemilikan orang desa terhadap
tradisi jauh lebih besar. Masalah etnosentrisme tidak lagi menjadi masalah
budaya masa kini, karena di samping adanya kebudayaan nasional kebudayaan
daerah tetap merupakan nilai-nilai yang luhur.
DAFTAR RUJUKAN
Clammer,
Jhon. 2003. Anthropology and Political
Economy: Theoretical and Asian Perspectives. (Terj. Ilham B. Saenong)
Yogyakarta: SADASIVA.
Endraswara,
Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian
Antropologi Sastra. Yogyakarta: PENERBIT OMBAK.
Kuntowijoyo.
2006. Budaya dan Masyarakat.
Yogyakarta: TIARA WACANA.
Malaka,
Tan. 2014.
Dari Penjara ke Penjara.
Yogyakarta: PENERBIT NARASI.
Oddang,
Faisal. 2015. Puya ke Puya. Jakarta: KEPUSTAKAAN
POPULER GRAMEDIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar