Oleh: Zahra Salsabila
Dalam dunia
penerbangan, ada yang namanya Critical
Eleven. Sebelas menit yang paling kritis di dalam pesawat, yaitu tiga menit
setelah take off dan delapan menit
sebelum landing. Menurut Anya, tokoh
utama dalam novel ini, hal tersebut sama seperti saat bertemu orang baru. Tiga
menit pertama saat bertemu orang itu dan delapan menit terakhir sebelum
berpisah dengan orang itu. Bagaimana senyumnya, tindak tanduknya, ekspresi
wajahnya, dan sebagainya.
Anya menghabiskan banyak
waktunya di dalam pesawat sehingga teman-temannya bilang bahwa ia akan bertemu
jodohnya di dalam pesawat. Dugaan itu memang benar, ia bertemu dengan lelaki
bernama Aldebaran Risjad, atau yang biasa dipanggil Ale, dalam sebuah
penerbangan dari Jakarta menuju ke Sidney.
Hubungan mereka semakin
lama semakin dekat hingga sampai ke jenjang pernikahan. Beberapa bulan
kemudian, kabar bahagia hadir di antara pasangan muda itu. Anya mengandung buah
hati mereka. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena kandungan
Anya mengalami keguguran. Hal tersebut membuat mereka depresi hingga suatu saat
mereka bertengkar hebat karena saling tersulut emosi.
Enam bulan mereka
menjalani kehidupan berumah tangga tanpa keromantisan atau keharmonisan setelah
pertengkaran itu. Hanya beberapa percakapan formal dan basa-basi layaknya dua
orang asing. Walaupun begitu, mereka tetap tinggal di satu atap. Mereka juga
bersandiwara di depan orang tua mereka masing-masing, seakan rumah tangga
mereka masih baik-baik saja seperti dahulu.
Namun, Ayah Ale
mengetahui bahwa hubungan suami istri itu sedang tidak mulus. Maka, Ayah Ale
yang penggemar kopi memberikan nasihat seperti ini, “Istri itu seperti biji
kopi sekelas Panama Geisha1 dan Ethiopian Yirgacheffe2,
Le. Kalau kita sebagai suami—yang membuat kopi—memperlakukannya tidak tepat,
rasa terbaiknya tidak akan keluar. Aroma khasnya, rasa aslinya yang seharusnya
tidak keluar, Le. Rasanya nggak pas. Butuh waktu lebih dari dua tahun dulu baru
Ayah merasa sudah memperlakukan ibu kamu sebagaimana seharusnya dia
diperlakukan. Dari mana Ayah tahu sudah bisa? Dari perlakuan Ibu ke Ayah.
Memang butuh belajar lama, butuh banyak salah dulu juga, tidak apa-apa. Yang
penting kita tekun, sabar, penuh kesungguhan, seperti waktu kita membuat kopi,
Le. Bedanya dengan kopi, kalau kita sudah bingung dan putus asa, bisa cari
caranya di Internet. Tinggal google.
Istri tidak bisa begitu, harus kita coba dan cari caranya sendiri.” (Halaman
56)
Novel bergenre roman
ini banyak mengandung pelajaran dan hikmah yang dapat diambil untuk kehidupan
berumah tangga. Contohnya seperti yang telah dikemukakan di paragraf
sebelumnya, yaitu nasihat dari Ayah Ale. Selain itu juga masih banyak hal-hal
lain yang tentu saja tidak dapat dijelaskan semua di sini.
Hubungan antar bab
dalam novel ini mungkin akan agak membingungkan bagi orang yang belum terbiasa
karena alur novel ini adalah maju mundur. Dimulai dari kenangan yang muncul di
pikiran Anya saat ia pertama kali bertemu dengan Ale di pesawat. Namun, lama
kelamaan pembaca akan merasa terlarut ikut masuk ke dalam cerita karena
pembawaan penulis yang tidak terburu-buru dan cukup jelas, sehingga pembaca
tidak akan merasa bosan.
Bahasa yang digunakan
dalam novel ini cenderung lebih ke bahasa sehari-hari, karena ini termasuk ke dalam
metropop atau sastra populer. Dialognya juga banyak menyisipkan bahasa Inggris,
mungkin karena sang penulis ingin menonjolkan sisi modernitas dalam novel ini.
Sayangnya, novel ini
menggunakan kertas yang mudah kuning dan jilidan yang kurang kuat sehingga jika
dibaca berulang-ulang, kertas akan mudah terlepas dari jilidannya. Hal tersebut
cukup mengganggu karena hampir semua aspek dalam novel ini sudah bagus, hanya
tekniknya saja yang kurang. Sampul depannya juga kurang begitu menarik hati
pembaca, walaupun memang masih berhubungan dengan pesawat dan udara.
Novel yang ditulis oleh
seorang wanita bernama Ika Natassa yang berprofesi sebagai banker ini berjudul Critical
Eleven dan diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama pada
Agustus 2015 setebal 344 halaman dan dapat dibeli dengan harga Rp.79.000,-
Ika Natassa memiliki
hobi menulis dan fotografi. Critical
Eleven adalah novel ketujuhnya setelah A
Very Yuppy Wedding (Gramedia Pustaka Utama, 2007), Divortiare (Gramedia Pustaka Utama, 2008), Underground (self-published
dengan nulisbuku.com, 2010), Antologi
Rasa (Gramedia Pustaka Utama, 2011), Twivortiare
(Gramedia Pustaka Utama, 2012), dan Twivortiare
2 (Gramedia Pustaka Utama, 2014). Semua novel yang ia tulis pasti masuk
dalam jajaran best seller di
toko-toko buku. Ika selalu menulis novel bergenre roman dewasa dan ciri khasnya
ialah menceritakan tentang kehidupan berumah tangga dengan para tokoh yang modern, tinggal di Jakarta, dan banyak
berbicara dengan bahasa Inggris.
dalam resensi ini, penulis resensi telah memanjakan pembaca resensi dengan informasi terkait identitas penulis novel. ini merupakan nilai lebih dari resensi ini menurut saya.
BalasHapus