Penerbit:
Banana, Jakarta, 2011,14cm, 172hlm.
Tentu saja ketika anda membaca judul ini, pasti anda
akan sangat tertawa. Buku fiksi ini sangat berbeda, dengan buku-buku fiksi
yang minggu-minggu ini saya sedang baca.
“RUMAH KOPI SINGA TERTAWA” ane bukan? Judul macam apa itu? Jika kita pisah kata
per-kata. Rumah yang bermakna dengan tempat tinggal. Kopi, sebuah minuman yang
mengandung kafein di dalamnya. Singa, binatang buas dan raja hutan. Tertawa,
refleksi dari dalam diri kita jika melihat sesuatu yang lucu, aneh dan
membingungkan. Tetapi, seorang penulis asal Semarang ini memang aduhai.
Karyanya memang layak untuk diperbincangkan. Awalnya, salah seorang teman saya
memberikan buku ini kepada saya. Saya lihat judulnya, aneh dan membingungkan.
Tapi, inilah ciri khas dari seorang Yusi Avianto Pareanom. Ia lulusan
Universitas Gadjah Mada. Pernah Ia menjadi wartawan di majalan Keadila dan
Tempo.
Buku
ini bukanlah novel, melainkan kumpulan-kumpulan cerpen yang menarik dan aduhai
sekali untuk dibaca. Jumlah halamannya juga tidak terlalu banyak. Maklum saja,
pasti-lah banyak orang yang sukar sekali untuk membaca, jika melihat dari
jumlah halamannya saja sudah banyak. Jumlah halaman buku ini ialah 172 halaman.
Tidak terlalu banyak bukan? Tidak membuat mata anda pegal dan lelah akibat
bacaan yang membingungkan. Sekarang Yusi bekerja sebagai redaktur di penerbit
bernama Banana. Yang berasal dari Jakarta, Kali bata tepatnya. Yusi menulis
buku ini dalam kurun waktu 1989-2011. Sungguh sangat serius menurut saya.
Karena pasti penuh banyak riset dan pengubahan isi yang berubah-ubah. Kecuali
tulisan yang berjudul “Laki-laki di Ujung Jalan” yang dibuat Yusi sangat
berbeda dengan yang lainnya.
Menurut saya, Yusi berusaha
meracik buku ini se-aduhai mungkin, untuk para pembacanya agar bisa menikmati
dengan tenang dan penuh gelak tawa. Seperti peracik-peracik kopi, yang membuat
kopi dengan hatinya, untuk memuaskan penikmatnya. Penulis “Gila”yang satu
ini-lah yang membuat saya seperti orang yang jiwanya terganggu. Tertawa dengan
tulisan-tulisannya.
Bagian
pertama, dari buku ini berjudul “Cara-Cara Mati yang Kurang Aduhai” Untuk orang
normal, jika mendengar tentang hukuman mati. Pasti sangat mengerikan. Ada yang
pro dan juga kontra. Namun, di satu sisi Yusi menafsirkan hukuman mati dengan
cara yang berbeda. Entah Yusi melihat dari berita tahanan hukuman mati Stanley
Baker, Jr atau tidak. Stanley adalah tahanan hukuman mati yang paling lapar
sedunia. Dan Yusi membuat cerita “Cara-Cara Mati yang Kurang Aduhai” mirip
dengan perilaku Stanley.
Bagian yang paling aduhai menurut
saya adalah cerita “Sebelum Peluncuran” yang terdapat pada halaman 28. Begini
ceritanya, seorang penulis, baru dikabarkan oleh penerbit. Jika novel yang
dikirimnya, akan diterbitkan dua bulan lagi. Awalnya, penulis ini jika melihat
sosok sastrawan yang diminta penerbit untuk berfoto dengan telanjang baju,
pasti tertawa. Karena berpikiran, jika sastrawan itu tampak loyo dan seperti
orang penyakitan. Tapi lama-kelamaan Ia berpikir untuk mendaftarkan diri ke
tempat kebugaran. Karena masalahnya pada bagian tubuh yang kurang aduhai itu,
Ia mendaftarkan diri. Namun, sudah hampir satu bulan, badannya tetap saja
seperti itu. Tidak kencang seperti yang Ia inginkan. Akhirnya, salah seorang
pemilik tempat kebugaran itu, mengajak ke ruangannya. Untuk memberi sebuah
ramuan yang membuat badan terlihat kencang dalam satu hari. Namun, setelah
mendengan racikan dari ramuan itu. Penulis ini sudah semaput.
Ending
yang kontemplatif ini, yang membuat Yusi semakin aduhai untuk diperbincangkan.
Namun, sangat disayangkan. Entah saya yang tidak terlalu baik saat merawatnya,
atau memang kertasnya yang begitu buruk. Baru saja satu bulan, setelah saya
baca dan saya taruh di rak. Kertas buku ini sudah menguning seperti orang yang
terlalu sering merokok dan jari-jari mereka menguning.
Semoga
saja Yusi Avianto Pareanom terus membuat tulisan-tulisan yang aduhai seperti
ini. Namun tetap diperhatikan dengan kondisi buku. Baik kertas, maupun bentuk
tulisan.
Gaya penulisan resensi yang sangat menarik, walapun di bagian wal tidak diperinci tentang buku yang diresensi seperti, Judul Buku, Nama Pengarang, ISBN, dll. akan tetapi resentator mampu menutupi itu semua dengan penjelasan resensi yang simpel dan menarik. Tambahannya dari saya, dalam resensinya resentator menjelaskan bahwa ada satu tulisan yang berjudul "Laki-Laki di Ujung Jalan" yang berbeda dengan tulisan yang lainnya. Alangkah baiknya resentator sedikit menjelaskan tentang tulisan dimaksudnya tersebut.
BalasHapus