Minggu, 05 Juni 2016

Resensi Rumah Kopi Singa Karya Yusi Avianto Pareanom Oeh Nicko Pratama Suhendar

Penerbit: Banana, Jakarta, 2011,14cm, 172hlm.

 
Tentu saja  ketika anda membaca judul ini, pasti anda akan sangat tertawa. Buku fiksi ini sangat berbeda, dengan buku-buku fiksi yang  minggu-minggu ini saya sedang baca. “RUMAH KOPI SINGA TERTAWA” ane bukan? Judul macam apa itu? Jika kita pisah kata per-kata. Rumah yang bermakna dengan tempat tinggal. Kopi, sebuah minuman yang mengandung kafein di dalamnya. Singa, binatang buas dan raja hutan. Tertawa, refleksi dari dalam diri kita jika melihat sesuatu yang lucu, aneh dan membingungkan. Tetapi, seorang penulis asal Semarang ini memang aduhai. Karyanya memang layak untuk diperbincangkan. Awalnya, salah seorang teman saya memberikan buku ini kepada saya. Saya lihat judulnya, aneh dan membingungkan. Tapi, inilah ciri khas dari seorang Yusi Avianto Pareanom. Ia lulusan Universitas Gadjah Mada. Pernah Ia menjadi wartawan di majalan Keadila dan Tempo.
Buku ini bukanlah novel, melainkan kumpulan-kumpulan cerpen yang menarik dan aduhai sekali untuk dibaca. Jumlah halamannya juga tidak terlalu banyak. Maklum saja, pasti-lah banyak orang yang sukar sekali untuk membaca, jika melihat dari jumlah halamannya saja sudah banyak. Jumlah halaman buku ini ialah 172 halaman. Tidak terlalu banyak bukan? Tidak membuat mata anda pegal dan lelah akibat bacaan yang membingungkan. Sekarang Yusi bekerja sebagai redaktur di penerbit bernama Banana. Yang berasal dari Jakarta, Kali bata tepatnya. Yusi menulis buku ini dalam kurun waktu 1989-2011. Sungguh sangat serius menurut saya. Karena pasti penuh banyak riset dan pengubahan isi yang berubah-ubah. Kecuali tulisan yang berjudul “Laki-laki di Ujung Jalan” yang dibuat Yusi sangat berbeda dengan yang lainnya.
Menurut saya, Yusi berusaha meracik buku ini se-aduhai mungkin, untuk para pembacanya agar bisa menikmati dengan tenang dan penuh gelak tawa. Seperti peracik-peracik kopi, yang membuat kopi dengan hatinya, untuk memuaskan penikmatnya. Penulis “Gila”yang satu ini-lah yang membuat saya seperti orang yang jiwanya terganggu. Tertawa dengan tulisan-tulisannya.
Bagian pertama, dari buku ini berjudul “Cara-Cara Mati yang Kurang Aduhai” Untuk orang normal, jika mendengar tentang hukuman mati. Pasti sangat mengerikan. Ada yang pro dan juga kontra. Namun, di satu sisi Yusi menafsirkan hukuman mati dengan cara yang berbeda. Entah Yusi melihat dari berita tahanan hukuman mati Stanley Baker, Jr atau tidak. Stanley adalah tahanan hukuman mati yang paling lapar sedunia. Dan Yusi membuat cerita “Cara-Cara Mati yang Kurang Aduhai” mirip dengan perilaku Stanley.
Bagian yang paling aduhai menurut saya adalah cerita “Sebelum Peluncuran” yang terdapat pada halaman 28. Begini ceritanya, seorang penulis, baru dikabarkan oleh penerbit. Jika novel yang dikirimnya, akan diterbitkan dua bulan lagi. Awalnya, penulis ini jika melihat sosok sastrawan yang diminta penerbit untuk berfoto dengan telanjang baju, pasti tertawa. Karena berpikiran, jika sastrawan itu tampak loyo dan seperti orang penyakitan. Tapi lama-kelamaan Ia berpikir untuk mendaftarkan diri ke tempat kebugaran. Karena masalahnya pada bagian tubuh yang kurang aduhai itu, Ia mendaftarkan diri. Namun, sudah hampir satu bulan, badannya tetap saja seperti itu. Tidak kencang seperti yang Ia inginkan. Akhirnya, salah seorang pemilik tempat kebugaran itu, mengajak ke ruangannya. Untuk memberi sebuah ramuan yang membuat badan terlihat kencang dalam satu hari. Namun, setelah mendengan racikan dari ramuan itu. Penulis ini sudah semaput.
Ending yang kontemplatif ini, yang membuat Yusi semakin aduhai untuk diperbincangkan. Namun, sangat disayangkan. Entah saya yang tidak terlalu baik saat merawatnya, atau memang kertasnya yang begitu buruk. Baru saja satu bulan, setelah saya baca dan saya taruh di rak. Kertas buku ini sudah menguning seperti orang yang terlalu sering merokok dan jari-jari mereka menguning.
Semoga saja Yusi Avianto Pareanom terus membuat tulisan-tulisan yang aduhai seperti ini. Namun tetap diperhatikan dengan kondisi buku. Baik kertas, maupun bentuk tulisan.

1 komentar:

  1. Gaya penulisan resensi yang sangat menarik, walapun di bagian wal tidak diperinci tentang buku yang diresensi seperti, Judul Buku, Nama Pengarang, ISBN, dll. akan tetapi resentator mampu menutupi itu semua dengan penjelasan resensi yang simpel dan menarik. Tambahannya dari saya, dalam resensinya resentator menjelaskan bahwa ada satu tulisan yang berjudul "Laki-Laki di Ujung Jalan" yang berbeda dengan tulisan yang lainnya. Alangkah baiknya resentator sedikit menjelaskan tentang tulisan dimaksudnya tersebut.

    BalasHapus