Harga buku : Rp 45.000,-
Judul Buku : Hujan Bulan Juni
Macam/Jenis buku: Fiksi (NOVEL)
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Terbit : Agustus 2015 (cetakan ketiga)
Tebal : 135 halaman
Penulis Novel Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono atau biasa dijuluki
SDD yang menurut saya selalu berhasil memberi rasa dari setiap puisi
karangannya. Penyair sekaligus sastrawan besar Indonesia yang puisi romantiknya
biasa tercetak di surat undangan nan sakral, dan kartu ucapan pada kado antar
kekasih. Sedikitnya saya sebut satu puisinya berjudul “Aku Ingin”.
Saya kutipkan larik lengkapnya yang hanya berisi dua bait saja, yaitu: Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu
kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada. Sederhana tapi sangat cadas dan ngena banget.
Di novel ini kita akan banyak menjumpai kata
juga kalimat yang penuh dengan syair – syair nan puitis. Novel ini menceritakan
tentang kisah percintaan dua sejoli antara Sarwono dan Pingkan. Sarwono adalah
seorang antropolog juga dosen muda yang lihai dalam membuat baitan puisi memenuhi sudut surat kabar
sedangkan Pingkan sendiri merupakan dosen muda di prodi Jepang. Pada dasarnya
mereka sudah kenal sejak lama, apalagi Sarwono sendiri adalah teman dari
kakaknya. Didalam percintaan mereka
terdapat beberapa kendala seperti perbedaan suku dan juga agama. Bukan hanya
itu, Pingkan yang mendapatkan beasiswa ke Jepang akan meninggalkan Sarwono
untuk sementara waktu.
Dalam membaca novel ini kita harus cermat dan
mungkin harus membaca lebih dari sekali untuk mendapatkan apa yang ingin
disampaikan oleh penulis. Walaupun agak rumit namun permainan kata – kata yang
ditulis oleh penulis sangat apik juga asyik untuk dibaca. Berikut adalah beberapa kutipan kalimat yang
ada di dalam novel ini;
“Yang aku cintai adalah Matindas yang
lain-Tuama Minahasa yang bisa menaklukkan hatiku – Halaman 57”
Katamu
dulu kau takkan meninggalkanku
Omong
kosong belaka!
Sekarang
yang masih tinggal
Hanyalah
bulan
Yang
bersinar juga malam itu
Dan
kini muncul kembali
(Hujan
Bulan Juni – Halaman 94)
Dan juga betapa menakjubkannya kutipan kalimat
ini, dua ratus tiga puluh satu kata, tanpa satu
pun tanda koma, namun enak dibaca :
“Baru
kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang mengungguli segalanya menembus apa
pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan tidak akan bisa dicapai
tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan pendekatan apa pun bahwa kasih
sayang ternyata tidak cabul ternyata terasa semakin pesat lajunya walau waktu
yang selalu tergesa-gesa terasa berhenti ternyata bukan godaan untuk mendesah
dan terengah bahwa kasih sayang ternyata tidak pernah menawarkan kesempatan
untuk tanya-jawab yang tak berkesudahan bahwa kasih sayang ternyata sebuah
ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap yang semakin
khusyuk pelukannya kalau senyap yang tanpa aroma tanpa warna tanpa sosok tanpa
asesori mendadak terbanting di lantai kemudian melesat terpental ke
langit-langit untuk turun perlahan sangat perlahan memeluk dan membujuk mereka
berdua agar tidak usah mengatakan sepatah kata pun sedesis huruf pun sebab kata
cenderung berada di luar kasih sayang dan kasih sayang tidak bisa disidik
dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika berpelukan mereka merasa
seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa kasih sayang tak lain
adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa surah dan ayat tanpa
parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa karma tanpa gerak tanpa siut
yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling
menggosok-gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang menjajikan tempat
bertengger bagi butir-butir embun terakhir kalau cahaya matahari pertama
bersinggungan dengan cakrawala bahwa kasih sayang adalah Kitab Suci yang
tersirat.”
Mungkin sebagian besar orang yang telah membaca novel ini mungkin akan berspekulasi
bahwa akhir ceritanya menggantung. Akhir cerita yang menyuguhkan
tiga sajak kecil akan semakin tidak enak bagi pembaca yang tidak suka puisi. Di
sisi lain, sesungguhnya cerita ini memang tidak akan pernah selesai. Sajak
penutup akan membuat penafsiran akhir cerita menjadi bermacam-macam, tergantung
dari pembacanya sendiri. Untuk itulah, tidak akan rugi bila memiliki novel
“Hujan Bulan Juni” ini karena akan dapat pengetahuan baru tentang sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar