Minggu, 05 Juni 2016

PERMAINAN KATA DALAM NOVEL HUJAN BULAN JUNI (Resensi oleh Arry Dwi Prasetyo)



Harga buku : Rp 45.000,-
Judul Buku : Hujan Bulan Juni
Macam/Jenis buku: Fiksi (NOVEL)
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Terbit : Agustus 2015 (cetakan ketiga)
Penerbit : PT. Gramedia 
Tebal : 135 halaman

Penulis Novel Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono atau biasa dijuluki SDD yang menurut saya selalu berhasil memberi rasa dari setiap puisi karangannya. Penyair sekaligus sastrawan besar Indonesia yang puisi romantiknya biasa tercetak di surat undangan nan sakral, dan kartu ucapan pada kado antar kekasih. Sedikitnya saya sebut satu puisinya berjudul “Aku Ingin”. Saya kutipkan larik lengkapnya yang hanya berisi dua bait saja, yaitu: Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Sederhana tapi sangat cadas dan ngena banget.
Di novel ini kita akan banyak menjumpai kata juga kalimat yang penuh dengan syair – syair nan puitis. Novel ini menceritakan tentang kisah percintaan dua sejoli antara Sarwono dan Pingkan. Sarwono adalah seorang antropolog juga dosen muda yang lihai dalam membuat baitan puisi memenuhi sudut surat kabar sedangkan Pingkan sendiri merupakan dosen muda di prodi Jepang. Pada dasarnya mereka sudah kenal sejak lama, apalagi Sarwono sendiri adalah teman dari kakaknya. Didalam percintaan mereka terdapat beberapa kendala seperti perbedaan suku dan juga agama. Bukan hanya itu, Pingkan yang mendapatkan beasiswa ke Jepang akan meninggalkan Sarwono untuk sementara waktu.
Dalam membaca novel ini kita harus cermat dan mungkin harus membaca lebih dari sekali untuk mendapatkan apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Walaupun agak rumit namun permainan kata – kata yang ditulis oleh penulis sangat apik juga asyik untuk dibaca. Berikut adalah beberapa kutipan kalimat yang ada di dalam novel ini;
 “Yang aku cintai adalah Matindas yang lain-Tuama Minahasa yang bisa menaklukkan hatiku – Halaman 57”


Katamu dulu kau takkan meninggalkanku
Omong kosong belaka!
Sekarang yang masih tinggal
Hanyalah bulan
Yang bersinar juga malam itu
Dan kini muncul kembali
(Hujan Bulan Juni – Halaman 94)

Dan juga betapa menakjubkannya kutipan kalimat ini, dua ratus tiga puluh satu kata, tanpa satu pun tanda koma, namun enak dibaca :
“Baru kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang mengungguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan tidak akan bisa dicapai tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan pendekatan apa pun bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul ternyata terasa semakin pesat lajunya walau waktu yang selalu tergesa-gesa terasa berhenti ternyata bukan godaan untuk mendesah dan terengah bahwa kasih sayang ternyata tidak pernah menawarkan kesempatan untuk tanya-jawab yang tak berkesudahan bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap yang semakin khusyuk pelukannya kalau senyap yang tanpa aroma tanpa warna tanpa sosok tanpa asesori mendadak terbanting di lantai kemudian melesat terpental ke langit-langit untuk turun perlahan sangat perlahan memeluk dan membujuk mereka berdua agar tidak usah mengatakan sepatah kata pun sedesis huruf pun sebab kata cenderung berada di luar kasih sayang dan kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika berpelukan mereka merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa karma tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok-gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang menjajikan tempat bertengger bagi butir-butir embun terakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala bahwa kasih sayang adalah Kitab Suci yang tersirat.”

Mungkin sebagian besar orang yang telah membaca novel ini mungkin akan berspekulasi bahwa akhir ceritanya menggantungAkhir cerita yang menyuguhkan tiga sajak kecil akan semakin tidak enak bagi pembaca yang tidak suka puisi. Di sisi lain, sesungguhnya cerita ini memang tidak akan pernah selesai. Sajak penutup akan membuat penafsiran akhir cerita menjadi bermacam-macam, tergantung dari pembacanya sendiri. Untuk itulah, tidak akan rugi bila memiliki novel “Hujan Bulan Juni” ini karena akan dapat pengetahuan baru tentang sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar