Oleh: Nopriandi Saputra (2125143345)
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Sastra
lahir, tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Karya sastra diciptakan pengarang
untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Pradopo, 1997). Di
zaman modern seperti ini karya sastra merupakan sebuah alat yang digunakan
penulis untuk menuangkan semua hal yang berada dalam pikiran penulis, bisa
berupa hal pribadi yang dialami langsung oleh penulis dan bisa juga untuk
menjadi alat kritik terhadap suatu hal. Karya sastra banyak jenisnya yaitu
novel, cerpen, puisi, dll.
Cerita Pendek atau yang lebih sering kita dengar sebagai
cerpen merupakan salah satu bagian dari karya sastra. Cerpen adalah cerita
pendek yang ditulis tidak lebih dari 10.000 kata, hanya terpusat pada satu
tokoh, dan satu situasi. Bagi kebanyakan sastrawan, penulis sastra serius,
cerpen bisa menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasiNya, karena dengan menulis
cerpen ia bisa mengeritik siapa aja, seperti petinggi-petinggi kota tanpa ada
yang menghalangiNya untuk berkarya.
Dalam
setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan
kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya
dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini
mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna ketercakupan
makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundasi), dan
termasuk Ambiguitas.
Dalam
kumpulan cerpen PENEMBAK MISTERIUS
karya Seno Gumira Adjidarma terdapat banyak kalimat ambigu yang membuat pembaca
menjadi bingung tentang makna sesungguhnya yang terdapat dalam kumpulan cerpen
tersebut.
2.
Tujuan
Tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mencari bentuk kalimat ambigu yang berada dalam
kumpulan cerpen PENEMBAK MISTERIUS sekaligus
menganalisisNya berdasarkan kategori-kategori yang berada dalam “Ambiguitas”
ISI
1.
Landasan
Teori
Ketaksaan
(ambiguitas) dapat timbul dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan.
Sehubungan dengan ketaksaan ini, Kempson (1977) yang dikutip oleh Ullman (1976)
menyebut tiga bentuk utama ketaksaan, ketiganya berhubungan dengan fonetik,
gramatikal, dan leksikal. Ketaksaan ini muncul bila kita sebagai pendengar atau
pembaca sulit untuk menangkap pengertian yang kita baca, atau yang kita dengar.
Bahasa
lisan sering menimbulkan ketaksaan sebab apa yang kita dengar belum tentu tepat
benar yang dimaksudkan oleh si pembaca atau penulis. Di dalam tulisan, kita
mengenal tanda baca yang akan memperjelas maknanya. Lebih-lebih jika pembicara
berbicara dengan cepat, tanpa jeda. Bandingkanlah
contoh berikut:
1)
Anak dan istri Pak
Lurah yang tinggal di Bandung.
2)
Anak, istri, dan
Pak Lurah yang tinggal di Bandung.
3)
Anak istri Pak
Lurah, yang tinggal di Bandung.
4)
Anak-istri Pak
Lurah yang tinggal di Bandung.
Dst.
Faktor
– faktor penyebab keambiguan:
1. Faktor Morfologi
Keambiguan
yang terjadi akibat dari pembentukan kata itu sendiri:
Contoh:
Permen
itu tertelan olehku.
a.
Permen itu sengaja tertelan, atau
b.
Permen itu akhirnya dapat ditelan.
2. Faktor Sintaksis
Faktor
ini terjadi karena susunan kata di dalam kalimat yang kurang jelas.
Contoh:
Gigit
jari
Ani
hanya bisa gigit jari melihat barang yang diinginkan tak bisa didapat.
Ani
menggigit jarinya hingga berdarah.
Kata
gigit jari di atas memiliki dua makna yaitu putus asa atau benar-benar
menggigit jarinya.
3. Faktor Struktural
Faktor
struktural adalah faktor yang menyebabkan keambiguitasan akibat dari struktur
kalimat itu sendiri.
Contoh:
Pembacaan,
puisi baru dilaksanakan pada hari minggu. (Yang dibaca puisi baru )
Pembacaan
puisi, baru dilaksanakan pada hari minggu.
(Yang dibaca hari minggu adalah puisi)
2.
Konstruk
Dalam
(Ambiguitas) terdapat tiga ketaksaan yang digunakan untuk mengklasifikasikan
data, yaitu:
A.
Ketaksaan Fonetik
Ketaksaan
pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa
yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu
cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan maknanya.
B. Ketaksaan Gramatik
Ketaksaan
gramatik muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Dengan demikian,
ketaksaan pada tataran ini dapat dilihat dari dua alternatif.
C.
Ketaksaan leksikal
Setiap
kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu ada benda yang berbeda,
sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Misalnya, kata Bang mungkin mengacu kepada “abang” atau “bank”, bentuk seperti itu
dikatakan polyvalency yang dapat
dilihat dari dua segi, polisemi dan homonimi.
3.
Instrumen Penelitian
NO
|
Kutipan
|
Ketaksaan
|
||
Fonetik
|
Gramatikal
|
Leksikal
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah. 2012.
Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal.
Bandung: PT Refika Aditama.
Djajasudarma, Fatimah. 2013.
Semantik 2 Relasi Makna Paradigmatik,
Sintagmatik, dan Derivasional. Bandung: PT. Retika Aditama.
Sangat baik
BalasHapus