Minggu, 05 Juni 2016

Kelanjutan Hidup Kesusastraan Rawamangun (Resensi oleh Faisal Fathur)



Judul: Rumah
Penulis: M. Nash, Ridwan, Amar Ar- Risalah, dan Reza Deni
Cetakan: 1, Mei 2014
Penerbit: Griya Pustaka, Yogyakarta
Tebal: xii + 232 halaman

Antologi cerita pendek Rumah merupakan pencapaian empat pengarang muda Rawamangun yang berhasil menuturkan segala kegelisahan hidup dan cinta melalui sebuah karya.

Kita mengetahui bahwa Rawamangun memiliki sejarah khusus di ranah kesusastraan kita. Di tahun 1975, kelompok sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia antara lain M.S. Hutagalung, Saleh Saad, J.U. Nasution dll. menasbihkan diri sebagai kelompok Rawamangun melalui aliran kritik sastra Rawamangunnya. Tak bisa dipungkiri, setelah itu Rawamangun terlihat sebagai sebuah kutub yang strategis, terlebih itu menjadi salah satu acuan penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia.
Menghubungkan dengan sejarah panjang yang ada, antologi cerpen Rumah seperti menunjukkan bahwa kegiatan kesusastraan di Rawamangun ternyata masih berjalan baik. Terlihat dari usaha M. Nash, Ridwan, Amar Ar-Risalah, dan Reza Deni dalam menghimpun 32 cerita pendek yang telah dikuratori sejak tahun 2012 hingga 2014. Keempat pengarang yang merupakan mahasiswa dan alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ ini, menganggap Rumah (dalam prakata) sebagai tempat hidup bersama antara pengarang dan pembaca.
Kehidupan bersama ini seolah memiliki artian bahwa keempatnya adalah pengarang yang senantiasa berproses. Pun menariknya proses-proses itu bermuara pada munculnya nuansa berbeda dari setiap pengarangnya. Pada M. Nash misal, cerita-ceritanya lebih bernuansa romantik. Sedang Ridwan lebih menonjolkan pada pemahamannya mengenai sejarah dan pertentangan di era kolonial. Lain lagi Amar Ar-Risalah yang terkesan menampilkan cerita-cerita profetik. Juga Reza Deni yang mampu menghadirkan hal sederhana menjadi sebuah perenungan panjang.
Walau cukup ada perbedebatan tentang cerita-cerita yang terlalu pendek dalam Rumah, yang dirasa belum menenuhi kriteria panjang suatu cerpen. Seperti Pangeran Kodok di Tepi Pantai dan Surya Majapahit terasa seperti model cerita sangat-sangat pendek yang kebanyakan penulis Amerika Latin ciptakan. Pun itu seolah menegaskan bahwa keempat pengarang Rawamangun menjadikan Rumah sebagai wahana eksperimentalnya. Tak terkungkung pada steoreotip atau pakem-pakem bercerita yang sudah ada.
Hanya saja, beberapa kesalahan ketik cukup menganggu dan mengaburkan imajinasi yang sedemikian rupa sudah terbentuk. Pun wilayah perwajahan yang sepertinya buruk ketika menata letak hingga berujung pada hasil cetakan yang kurang sedap dipandang mata. Beberapa letak tulisan muncul dengan tidak simetris, yang tentu ini sebenarnya bukanlah koridor kuasa penulis. Beruntung keteledoran penerbit itu cukup diimbangi dengan gaya ungkap para pengarangnya yang cenderung sederhana dan menjadikan cerita dalam Rumah tetap bisa dipahami dengan nyaman. Karena tentu persoalan esensial ketika membaca buku, ya, mengharuskan kita untuk memahami isinya, bukan?
Setidaknya saat ini kita tahu bahwa kesusastraan Rawamangun belum padam meskipun FSUI sudah tidak bermarkas di daerah Rawamangun lagi. Transformasi IKIP Jakarta menjadi UNJ adalah suasana baru yang memungkinkan kesusastraan Rawamangun hidup dengan cara yang berbeda. Kehadiran Rumah tak ayal adalah pijakan kaki serius terhadap ladang ekspresi para mahasiswa yang kerap dibredel di kampusnya sendiri. Sebuah satire juga yang menganggap apakah Rawamangun sekarang sudah menjadi rumah yang baik bagi manusia-manusia di dalamnya?

1 komentar:

  1. Berdasarkan teori resensi bahwa resensi pada hakikatnya untuk menilai sebuah karya,dan dalam artikel ini tidak secara tersurat menjelaskan keunggulan buku tersebut secara tersurat sehingga pembaca artikel tidak mengetahui keunggulan buku secara mudah

    BalasHapus