Rabu, 15 Juni 2016

REALISME KEBUDAYAAN DALAM CERPEN BELIAN KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN : ANALISIS WACANA Oleh Nicko Pratama (UAS)


1. Pendahuluan



1.1 Latar Belakang Masalah



Sastra, manusia dan masyarakat memang tidak akan bisa terlepas. Manusia diartikan sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi satu sama lain dan melakukan serangkaian kebiasaan yang secara berkelanjutan akan berakar menjadi suatu budaya dalam diri sesorang atau kelompok. Secara garis besar, manusia dan budaya adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan karena di mana manusia itu hidup dan menetap, pasti manusia akan hidup dengan kebudayaan yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Budaya tidak hanya mempengaruhi bagaimana cara seseorang untuk berpikir mengenai apa yang benar dan yang salah melainkan juga mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam kaitannya dengan perilaku masyarakat dayak, yang mempercayai akan sebuah kebudayaan belian, yang berarti kepercayaan jika seseorang yang terkena penyakit haruslah disembuhkan dengan belian, yaitu mantra-mantra kepercayaan suku dayak yang berada di daerah Temula, Kalimantan Timur. Salah satu pengejawantahan atau manifestasi pandangan hidup manusia Dayak berkaitan erat dengan kepercayaan-kepercayaan budaya dalam. Agaknya kepercayaan Belian menampilkan esensinya dan menjadi bagian yang tidak terlepas dari masyarakat Suku Dayak. Kepercayaan belian dihadirkan kembali oleh Korrie Layun Rampan dalam cerpennya BELIAN. Belian yang mempunyai makna nyanyian-nyanyian yang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Yang menjadi pokok permasalahannya ialah, apakah ritual belian memang menjadi kepercayaan tersendiri bagi masyarakat suku dayak. Realitas itu sendiri adalah sebagai kenyataan yang sungguh-sungguh ada, terlepas dari persepsi manusia (orang) tentang kenyataan itu sendiri. Realitas itu sendiri hadir sebagai yang ada, sebagai esensi dari kenyataan itu. Apabila Realitas berada pada ritual belian, maka realitasnya adalah sebagai kenyataan yang ada dan sebagai esensi dari ritual itu sendiri, tanpa mempersoalkan pakah ritual itu sedang berlangsung sekarang ataukah untuk masa silam ataukah masa yang akan datang.

Realisme di dalam seni rupa berarti usaha menampilkan subjek dalam suatu karya sebagaimana tampil dalam kehidupan sehari-hari tanpa tambahan embel-embel atau interpretasi tertentu. Realisme menjadi terkenal sebagai gerakan kebudayaan di Perancis sebagai reaksi terhadap paham Romantisme yang telah mapan di pertengahan abad 19. Gerakan ini biasanya berhubungan erat dengan perjuangan sosial, reformasi politik, dan demokrasi.

Sebagai seorang teoretikus realisme dalam HI, Thucydides memberikan empat kategori mengenai realisme.

(1) Sifat manusia adalah titik awal untuk realisme dalam hubungan internasional. Realis melihat manusia sebagai dasarnya egois dan mementingkan diri sendiri sejauh kepentingan pribadi mengatasi prinsip-prinsip moral.

(2) Kaum Realis secara umum percaya bahwa tidak ada pemerintah dan kondisi hubungan internasional selalu dalam kondisi anarkis,

(3) Karena kondisi hubungan internasional selalu dalam kondisi anarkis, untuk mencapai keamanan, negara berusaha meningkatkan kekuasaan mereka dan terlibat dalam kekuasaan-balancing untuk tujuan menghalangi agresor potensial. Perang ini dilancarkan untuk mencegah negara peserta dari menjadi lebih kuat secara militer

(4) Realis umumnya skeptis tentang relevansi moralitas dalam politik internasional. Hal ini menyebabkan mereka mengklaim bahwa tidak ada tempat bagi moralitas dalam hubungan internasional, atau bila ada ketegangan antara tuntutan moralitas dan tuntuan aksi politik yang amoral maka negara boleh bertindak sesuau dengan moralitas mereka sendiri yang berbeda dari moralitas yang secara umum dianut.



Teori wacana dalam kajian kebudayaan dipahami sebagai isu penting yang hadir dalam praktik kekuasaan. Wacana dipahami sebagai cara tertentu untuk membicarakan dan memahami dunia. Wacana hadir pada setiap relasi hubungan sosial untuk menjalankan praktik kekuasaan.

Perlawanan kebudayaan tergambar di dalam cerita berjudul BELIAN sebab tokoh utama lahir untuk melawan ritual-ritual yang menurut-nya sudah kuno, tidak masuk diakal, dan logika. Kepercayan itulah yang ingin dilawan oleh tokoh utama, yang menarik di dalam cerita ini ialah, bagaimana pengarang bisa membuat tokoh utama seolah-olah bisa hidup dan merasuk ke dalam diri pembaca.

Korrie Layun Rampan memang terkenal dengan sosok sastrawan yang serba bisa. Ia lahir di Kalimantan Timur, dan juga berasal dari suku dayak. Di sisi lain, produktivitas Korrie untuk menulis beberapa tulisan kebudayaan sangat dinikmati oleh beberapa pembaca setianya. Wacana yang berkembang ialah, apakah ritual belian benar adanya, atau-kah hanya sebatas pandangan pengarang dengan pengobatan-pengobatan tradisional di tempatnya ber-asal. Wacana tentang ritual belian ini memang sudah seharusnya di teliti lebih dalam lagi, sebab penelitian ini bertujuan untuk melihat sisi tradisonil dari ritual kepercayaan pengarang. Pengarang memberikan nuansa aduai mengenai kepercayaan-kepercayaan suku dayak yang menjadi kenikmatan tersendiri terhadap pembacanya.





1.2 Rumusan Masalah



- Apakah yang dimaksud dengan belian?

- Apakah yang dimaksud dengan realitas kebudayaan?

- Bagaimana wacana dominan yang dihasilkan oleh kepercayaan belian ini?



1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi masalah ini pada bentuk realitas kebudayaan dan wacana-wacana tentang ritual belian.



2. Kerangka Berpikir



Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori wacana Michael Foucault. Teori wacana digunakan untuk menemukan praktik penggunaan kekukasaan dan realitas kebudayaan. Yang melihat sebuah realitas kebudayaan belian di dalam masyarakat dayak.

2.2 Instrumen Penelitian



Instrumen Penlitian ini bertitik fokus pada wacana akan ritual atau-pun kepercayaan masyarakat susku dayak terhadap belian. Objeknya ialah masyarakat suku dayak.





2.3 Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian ini menggunakan Deskriptif kualitatif, yang bertitik fokus pada penggambaran masyarakat suku dayak, yang melaksanakan ritual belian ketika ada masyarakat sana yang sedang terkena penyakit, atau-pun untuk menolak kesialan.







2.1 Teori Wacana



Wacana adalah kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini. Banyak pengertian yang merangkai untuk penggunaan kata wacana. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pertanyaan. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Dengan demikian, wacana yang ada dipakai untuk membongkar relasi kuasa yan ada di dalam setiap proses bahasa, sehingga wacana melihat bahasa selalu terlibat dan terkait dengan kekuasaan.













3. Pembahasan



Di awal cerita, wacana akan ritual-ritual kepercayaan suku dayak dijelaskan dengan nuansa aduhai. Wacana mengenai ritual belian, di dalam cerita belian ialah mantra-mantra untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kepercayaan belian sudah ada dari kakek moyang suku dayak. Saat ritual belian banyak hal-hal menarik di dalamnya.



“Pada suatu hari, bahkan seorang tua yang merupakan dukun belian mengatakan dengan terus terang. “Sentaru?” mulutnya yang nyirih begitu dimonyongkan, “ia sendiri dulu di-belian-iku. Kalau tidak, mungkin ia sudah tiada. Seperti ayahnya!”



Ketika si tokoh utama sedang di-belian saat masih kecil, sehingga kematian tak menimpa dirinya, seperti ayahnya yang waktu itu sedang sakit, akhirnya meninggal karena tidak mau di-belian karena tidak masuk diakal dan jauh dari naral dan logika. Seperti lainnya, cerita ini mengangkat hal-hal kebudayaan yang di dalamnya terdapat ritual atau-pun kepercayaan yang sulit untuk kita percayai.



Di dalam sebuah desa Temula, kepercayaan akan sebuah mantra-mantra sangat di Tuhan-kan. Sehingga kepercayaan akan obat-obatan dilupakan. Sehingga saat si tokoh utama, yaitu “Sentaru” pergi melanjutkan pendidikannya ke kota dan kembali lagi dengan lulusan dokter. Saat di sana Ia tidak disenangi oleh para tokoh masyarakat suku dayak. Bagi para tokoh masyarakat, dokter hanyalah untuk kalangan kelas elite bukan untuk para masyarakat suku dayak. Mereka mempunyai wacana jika dengan daun pisang, dan beberapa manta mereka sudah bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tidak perlu-lah dengan obat-obatan kota. Karena bagi mereka itu akan memakan biaya yang besar. Sedangkan ritual belian, hanya berharap hewan ternak, tumbuhan dan hasil pertanian.



Sedangkan realitas yang terdapat di dalam cerita ini ialah, bagaimana kebudayaan suku dayak bisa dihadirkan berbentuk cerita pendek oleh pengarang yang merupakan kelahiran asli suku dayak. Mungkinkah realitas yang terdapat di dalam ritual ini benar adanya, atau-kah memang pemikiran si pengarang saja. Dan adapula mengenai wacana masyarakat suku dayak, tentang ketidak percayaan oleh dokter dan obat-obatan.







Daftar Pustaka



Budianti, Melani. 2002. Oposisi Binner dalam Wacana Kritik Pascakolonial dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra. Jakarta: PPPG Bahasa.

Jorgensen, Marianne W dan Louise J.Phillips. 2007. Analisis Wacana; Teori dan Metode, Imam Suyitno dan Lilik Suyitno (terjemahan) Yogyakarta: Pustaka Belajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar