Rabu, 15 Juni 2016

KRITIK SOSIAL DALAM CERPEN BELIAN KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN (TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA) Oleh: Claudia Putri (2125143348)


Pendahuluan
Karya sastra merupakan karya penulis yang dituangkan melalui sastra lisan atau sastra tulis dengan ide-ide yang kreatif dan imajinatif. Karya sastra sesungguhnya tidak pernah lepas dari kondisi masyarakat, karena sastra merupakan realitas sosial yang ada di kehidupan nyata. Pada hakikatnya, sastra adalah sebuah ide, gagasan atau pikiran, serta perasaan  yang ingin disampaikan penulis kepada masyarakat melalui sebuah karya sastra.  Kehidupan masyarakat dan realitas sosial yang terdapat dalam karya sastra menjadi sebuah proses penciptaan karya, mengenai apa yang terjadi pada manusia dengan kehidupan sosialnya.
Menurut Yudiono (2009:57) metode sosiologi sastra merupakan seperangkat alat untuk memahami hubungan antar karya sastra dengan kehidupan sosial yang melingkupinya berdasarkan pandangan bahwa karya sastra itu diciptakan pengarang sebagai individu yang pasti berada dalam lingkungan masyarakat,  sehingga masuk akal apabila karya sastra mengungkapkan berbagai masalah yang terjadi sesuai dengan gagasan atau persepsi pengarang yang bersangkutan. Dengan kata lain, metode sosiologi sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat mengenai sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya.
Peneliti mengkaji cerpen Belian karya Korrie Layun Rampan dengan tinjauan sosiologi sastra, akan tetapi dengan ruang batas lingkup mengenai Kritik Sastra yang terdapat dalam novel tersebut. Cerpen Belian karya Korrie Layun Rampan ini adalah cerpen yang menyajikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat khususnya kepercayaan masyarakat dengan gaya cerita yang lugas dan tidak berbelit-belit. Cerpen ini bercerita tentang daerah Temula tentang segala macam kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh halus ataupun dewa yang dapat menyembuhkan penyakit, dan lain sebagainya.
Alasan penulis mengambil topik “Kritik Sosial dalam Cerpen Belian Karya Korrie Layun ” karena mengenai topik dan objek memiliki keterkaitan. Maka, sosiologi dan sastra sama-sama menguraikan masalah masyarakat mengenai bagaimana hubungan manusia, lingkungannya, adat-istiadatnya dan apa yang menjadi masalah sosial yang terjadi di masyarakat, dan dalam cerpen Berlian ini menguraikan masalah sosial dengan lingkungan tokoh utama yang percaya dengan belian, penyembuhan orang sakit ala dukun Dayak Beuaq.
Pengkajian dalam cerpen Belian ini menggunakan teori kritik sosial, karena dalam cerpen ini penulis menuangkan kegelisahannya melalui sebuah cerita sederhana dan kemudian ditemukan beberapa yang sebenarnya adalah kritikan penulis untuk disampaikan kepada masyarakat, bahwa inilah yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat sehingga sangat penting dikaji dengan teori kritik sosial. Kritik sosiologi akan menunjukkan kepada pembaca bahwa setiap karya merupakan cermin kehidupan  sosial dan budaya (Suwardi Endaswara,  2013: 111). Dengan kata lain, kritik yang berdasarkan dari sosiologis berpusat pada masyarakat, dan kritik sosiologi ini juga berpusat pada unsur luar sebagai latar belakang masyarakat, pengarang, dan karyanya. Sedangkan menurut Marbun, kritik sosial adalah suatu tanggapan atau kecaman yang kadang-kadang disertai dengan uraian dan pertimbangan baik maupun buruknya suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Dengan kata lain dapat dikatakan, kritik sosial sebagai tindakan adalah membandingkan serta mengamati secara teliti dan melihat perkembangan secara cermat tentang baik atau buruknya kualitas suatu masyarakat.
            Tujuan dari penelitian ini adalah menyampaikan bahwa karya sastra dijadikan salah satu media alternatif untuk menyampaikan “pemberontakan” terhadap realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Kerangka Teori
            Kerangka teori yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Teori Strukturalisme
Menurut Sangidu (2004 : 16), strukturalisme memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling  berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 2013:135).
Adapun teori struktural yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah teori Struktural Stanton (2007: 12-47) yang membagi unsur intrinsik fiksi menjadi tiga bagian, yaitu fakta cerita, tema, dan sarana sastra. Dalam penelitian kali ini, teori struktural yang digunakan  ialah struktural  dari Robert Stanton yang meliputi  tema, alur, latar, dan tokoh.
Tema merupakan aspek cerita sejajar dengan “makna“ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman baru diingat. Menurut Stanton (2007:20)  tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26).
Menurut Stanton (2007: 27) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Pengelompokannya, yaitu waktu, tempat, dan sosial.
Istilah “tokoh“ merujuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan. Tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatukarya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan da kecendeerngan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

2. Kajian Sosiologi Sastra
            Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu sosio dari kata socius yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan, dan teman, dan logi dari kata logos yang berarti sabda, perkataan, dan perumpamaan. Selanjutnya terjadi perubahan makna, socius berarti masyarakat dan logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi adalah ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan masyarakat. Sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu san yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi, dan tra yang berarti alat, dan sarana. Jadi, sastra adalah alat untuk mengajar atau pengajaran yang baik.
Sosiologi adalah ilmu yang membahas tentang masyarakat. Sosiologi atau ilmu
masyarakat ialah mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial masyarakat (dalam Soerjono Seokanto, 2005: 20). Sastra diciptakan oleh pengarang berdasarkan kenyataan atau realitas yang ada dalam lingkungan sosial masyarakat, sehingga karya sastra tidak lepas dari masyarakat karena masyarakat merupakan cerminan dari sastra. Artinya, sastra lahir dari lingkungan atau kelompok-kelompok sosial.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian yag bersifat relaktif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial yang berhasil memicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang
sukses adalah yang mampu merefleksikan zamannya (Suwardi Endraswara (2003:77).
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan Austin Warren (2014:100) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi
yakni:
1.      Sosiologi pengarang yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang
2.      Sosiologi karya sastra yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra sedangkan menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya
3.      Sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

3. Kritik Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Adinegoro (1958:10) mengungkapkan bahwa kritik adalah salah satu ciri dan sifat penting dari persitiwa otak manusia, sehingga kritik dapat dijadikan dasar untuk berpikir dan mengembangkan pikiran. Kritik tidak dimaksudkan untuk meruntuhkan sesuatu melainkan untuk memperbaiki hal yang dianggap tidak sesuai dan akhirnya untuk mendapatkan kemajuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosial adalah berkenaan dengan masyarakat. Dari definisi kritik sosial tersebut, kritik sosial didapati 2 golongan yaitu kecamanan dan tanggapan dengan menjadikan kritik sebagai suatu pemikiran serta pengembangan untuk mengupas apa yang terdapat dalam sosial masyarakat.
                Seorang kritkus sastra saat ini harus mampu mengupas apa yang ada dalam karya sastra, salah satunya dari segi sosial. Sehingga yang dimaksud dengan kritik sosial adalah suatu ajakan, usul, atau ajuran yang bisanya terselubung dituangkan dalam novel, lakon, film. Kritik itu bertujuan untuk mengadakan perbaikan terhadap suatu keadaan dalam masyarakat yang dianggap tidak memuaskan (Soenarjati Djajanegara, 2005: 1).
            Kritik Sastra Baru (new critism) merupakan aliran kritik sastra pernah berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat hingga tahun 1950-an, merupakan gerakan atau aliran sastra yang melawan pendekatan historis, biografis, dan impresionistis. Kritik itu berpendapat bahwa karya sastra dengan segala struktur atau susunannya yang rumit itu dijelaskan berdasarkan analisis strukturnya sendiri sehingga seni instrinsiklah yang seharusnya tampil di permukaan (Yudiono 2009: 48).
Berdasarkan hal tersebut dalam kritik sastra diperlukan untuk mengetahui serta membedah strukturnya sehingga akan terlihat apa yang sedang penulis sampaikan melalui pembedahan struktur tersebut.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deksriptif kualitatif, yang bertujuan untuk memberikan gambaran, deskripsi, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang menghasilkan temuan-temuan data tanpa menggunakan prosedur statistika karena tidak bersifat mengukur. Jadi, akan digunakan metode deksriptif kualitatif untuk bertujuan menggambarkan secara sistematis sebuah fenomena yang diselidiki dengan cara mengintreprestasi data yang ditemukan tanpa perhitungan statistik.

Instrumen Penelitian
Berdasarkan teori yang sudah dikemukakan, peneliti mengambil instrumen penelitian berupa menggali unsur strukturnya, yaitu tema, latar, dan amanat kemudian dijelaskan berdasarkan temuan tersebut apa yang sebagai Kritik Sosial.



Hasil Analisis
            Hasil analisisnya adalah sebagai berikut:
A. Tema
            Tema dalam cerpen Belian karya Korrie Layun Rampan adalah kepercayaan masyarakat yang tidak bisa lepas pada mantra belian. Hal ini diperoleh dari kutipan:
Kenyataan ini membuat aku menjadi gamang, mengapa pertolongan kebaikan yang berdasarkan pengetahuan dan akal sehat ditolak, sementara sesuatu yang musykil justru diterima dengan keyakinan sepenuh hati? Mungkin ibu sangat kecewa karena aku tidak mampu menjadi pahlawan, dan profesiku bukanlah pekerjaan yang membanggakan. Ternyata dukun belian dipercayai daripada dokter yang selama bertahun-tahun menimba ilmu di perguruan tinggi dengan biaya berjuta!?(Halaman 215)
“Tak bisa sebulan dua, bahkan tidak juga setahun. Mengubah sesuatu yang sudah mendarah daging berarti mengubah generasi,” kata ibu saat aku laporkan kegalauanku. (Halaman 215)

B. Latar
            Latar dalam cerpen Belian karya Korrie Layun Rampan dibagi menjadi 3, diantaranya adalah waktu, tempat, dan sosial. Hal ini diperoleh dari kutipan:

1.      Latar Waktu
Latar  waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
·         Rasaku aku menjadi canggung setelah tahun-tahunku di dalam masa remaja dihabiskan dalam pergulatan ilmu pengetahuan. (Halaman 209)
·         Semuanya seperti dipisahkan oleh tirai malam yang gulita. (Halaman 209)
·         Lima belas tahun yang lalu aku dipisahkan ibu dengan segala upacara yang kurasakan mendidihkan darahku. (Halaman 210)
·         Bahkan selama lima belas tahun aku terhilang karena kesibukanku dengan pelajaran dan keinginan ibu agar aku segera menggantikan beliau jika aku lulus sebagai dokter. (Halaman 211-212)
·         Enam tahun sebelumnya aku tinggalkan kampung ibu, sebuah desa yang diyakini ibu sebagai permulaan kehadiran nenek-moyangnya, karena menurut dongeng leluhur di kampung itulah manusia pertama diturunkan dari langit. (Halaman 212)
·         “Tak bisa sebulan dua, bahkan tidak juga setahun. Mengubah sesuatu yang sudah mendarah daging berarti mengubah generasi,” (Halaman 215)
·         “Kau harus sabar, sesabar belian menyembuhkan pasiennya. Kau lihat mereka menari hampir sepanjang malam? Kau bekerja lebih mudah karena siang, tetapi belian? Di siang hari mereka membuka ladang atau berburu di hutan, dan di malam hari mereka menari untuk memulangkan penyakit ke bukit-bukit kesukaan. Bahkan tak jarang mereka harus bertarung sesama belian karena berebutan gengsi. (Halaman 215)
·         “Hanya satu bulan sudah menyerah? Hanya sebulan seorang sarjana sudah angkat tangan?” (Halaman 216)
·         “Selama ratusan tahun kakek dari kakek dari kakekmu secara turun-temuran memelihara belian dan mempertahankan adat istiadat” (Halaman 216)
·         Dua puluh sembilan hari aku bertahan untuk tidak terlibat di dalam upacara belian agar terpelihara gengsi seorang dokter, akan tetapi pada hari yang ketiga puluh ini aku tak dapat menahan diri. (Halaman 217)
·         Selama dua puluh tujuh tahun aku tak pernah memikirkan wanita karena harus menjadi pahlawan versi ibu, namun selama sebulan di Temula perasaan aneh sering meremas jantungku jika aku melihat Ule. (Halaman 218)
·         Bulan baru muncul di langit saat aku pamit pada Ule di halaman rumahnya. (Halaman 219)
·         Cahaya bulan tampak kelabu pada pintu rumah ibu. (Halaman 219)

2.       Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
·         Berbagai bunyi yang terpadu di dalam lou membayangkan sebuah kegaduhan yang porak-poranda. (Halaman 207)
·         Segalanya campur aduk dengan berbagai aroma yang dibawa udara di seluruh lou seperti aroma dupa-dupaan yang dibakar di dalam dapur pedupaan dan bau masakan yang ditaruh di dalam beberapa talam tembaga berkaki tinggi di bawah juntaian peralatan belian di tengah  arena. (Halaman 207-208)
·         Begitu kata Paman Usan, dan aku mempercayainya sampai aku di dorong ibu untuk pergi melanjutkan sekolahku di sebuah sekolah menengah di ibu kota provinsi.(Halaman 208)
·         Ibu sebenarnya yang membuat aku jadi terpisah dari suasana desa segala rona yang tersulam di dalamnya. (Halaman 209)
·         Kutahu perlawanan dari Paman Usan, dahulu, sebelum ibu memaksaku pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan. (Halaman 211)
·         Ibu mengadakan selamatan merayakan keberhasilanku dan ia menjual beberapa guci antik peninggalan kakek untuk biaya kuliahku di Surabaya. (Halaman 212)
·         Tak sempat lagi aku ke Temula karena aku harus mengejar tahun ajaran baru. (Halaman 212)
·         Enam tahun sebelumnya aku tinggalkan kampung ibu, sebuah desa yang diyakini ibu sebagai permulaan kehadiran nenek-moyangnya, karena menurut dongeng leluhur di kampung itulah manusia pertama diturunkan dari langit. (Halaman 212)
·         Bahkan aku baru sampai tarap sebagai penonton yang justru begitu terpesona dengan berbagai atraksi belian di arena lou. (Halaman 213)
·         “Dokter itu untuk orang kota” (Halaman 213)
·         “Orang desa seperti kami ini hanya bisa disembuhkan dengan belian” (Halaman 213)
·         “Kau harus sabar, sesabar belian menyembuhkan pasiennya. Kau lihat mereka menari hampir sepanjang malam? Kau bekerja lebih mudah karena siang, tetapi belian? Di siang hari mereka membuka ladang atau berburu di hutan, dan di malam hari mereka menari untuk memulangkan penyakit ke bukit-bukit kesukaan. Bahkan tak jarang mereka harus bertarung sesama belian karena berebutan gengsi. (Halaman 215)
·         Tiga anaknya tak ada yang menggarap hutan peninggalan kakekku, bahkan berhektar-hektar petak rotan hanya disuruh urus oleh saudaranya. (Halaman 215)
·         Apakah tidak sebaiknya aku kembali ke Surabaya dan kemudian mengambil spesialisasi di Jakarta sambil membuka praktik. (Halaman 217)
·         Selama dua puluh tujuh tahun aku tak pernah memikirkan wanita karena harus menjadi pahlawan versi ibu, namun selama sebulan di Temula perasaan aneh sering meremas jantungku jika aku melihat Ule. (Halaman 218)
·         Kutuntun Ule pulang menuruni tangga kayu menuju halaman lou. (Halaman 218)

3.      Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam  karya fiksi.
·         Bahkan aku pernah belajar beberapa bahasa mantra salah satu jenis belian bowo yang banyak digunakan masyarakat setempat untuk mengusir roh-roh jahat. (Halaman 208)           
·         Mereka melakukan pengorbanan apa saja lewat upacara yang begitu memakan waktu, tenaga, dan biaya agar kematian itu tak lagi menjemput berulang. (Halaman 211)
·         Bersama pasien lainnya tak sepeser pun aku menarik biaya, sementara untuk menjadi pasien belian mereka harus membawa beras, ayam, dan babi yang disertakan di dalam upacara. (Halaman 213)
·         Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa dokter merupakan profesi priyayi modern. (Halaman 213)
·         Banyak yang menolak pertolongan dokter, terutama yang tua-tua. (Halaman 214)
·         “Kau harus sabar, sesabar belian menyembuhkan pasiennya. Kau lihat mereka menari hampir sepanjang malam? Kau bekerja lebih mudah karena siang, tetapi belian? Di siang hari mereka membuka ladang atau berburu di hutan, dan di malam hari mereka menari untuk memulangkan penyakit ke bukit-bukit kesukaan. Bahkan tak jarang mereka harus bertarung sesama belian karena berebutan gengsi. (Halaman 215)

C. Amanat
            Amanat dalam cerpen “Belian” karya Korrie Layun Rampan adalah ritual atau tradisi yang sudah melekat di suatu daerah, tentulah tidak mudah untuk mengubahnya begitu saja. Sebagai masyarakat, perlulah menghormati ritual atau tradisi tersebut walaupun tanpa mengikutsertakan diri.


D. Perwujudan Kritik Sosial dalam cerpen “Belian” karya Korrie Layun Rampan
            Berikut ini adalah penjabaran mengenai kritik yang terdapat dalam cerpen, diantaranya sebagai berikut:

1.  Mengkritik orangtua yang selalu memaksa kehendaknya
            Tokoh Sentaru harus menuruti perintah ibunya untuk menjadi seorang dokter, lantaran ayahnya dan kakak-kakaknya menjadi polisi, sehingga tidak dapat melepas pikiran masyarakat untuk meninggalkan rituall belian. Tokoh Sentaru pun ketika lulus dari Surabaya harus kembali ke kampung tempat ritual belian, berusaha untuk menghentikan  keyakinan masyarakat yang musykil, dan memperkenalkan pengetahuan dan akal sehat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Tokoh Sentaru merasa gamang, karena dirinya tidak dapat dihargai menjadi dokter, dan tidak bisa menjadi pahlawan bagi ibunya. Dan kegamangan itu terjadi ketika Sentaru bertemu dengan Ule, padahal di satu sisi ibunya terus-terusan membujuk Sentaru untuk bertahan dan terus berusaha menghilangkan ritual tersebut.
            “Hanya satu bulan sudah menyerah? Hanya sebulan seorang sarjana sudah angkat tangan?” ibu seakan mengejekku. (Halaman 216)
“Kau harus sabar, sesabar belian menyembuhkan pasiennya. Kau lihat mereka menari hampir sepanjang malam? Kau bekerja lebih mudah karena siang, tetapi belian? Di siang hari mereka membuka ladang atau berburu di hutan, dan di malam hari mereka menari untuk memulangkan penyakit ke bukit-bukit kesukaan. Bahkan tak jarang mereka harus bertarung sesama belian karena berebutan gengsi. (Halaman 215)

2. Mengkritik ritual belian
            Ritual belian adalah ritual penyembuhan orang sakit ala dukun beruaq yang diiringi dengan musik yang bersaing dengan kegelapan, dan dalam ritual tersebut ada mantra-mantra yang digunakan untuk memanggil roh-roh halus untuk mengeluarkan penyakit yang diderita. Dan tokoh Ibu sangat menentang ritual belian, karena menurutnya hal tersebut sangat musygil, walaupun tokoh ibu merupakan turunan dari ayah yang seorang kepala adat.
Kenyataan ini membuat aku menjadi gamang, mengapa pertolongan kebaikan yang berdasarkan pengetahuan dan akal sehat ditolak, sementara sesuatu yang musykil justru diterima dengan keyakinan sepenuh hati? Mungkin ibu sangat kecewa karena aku tidak mampu menjadi pahlawan, dan profesiku bukanlah pekerjaan yang membanggakan. Ternyata dukun belian dipercayai daripada dokter yang selama bertahun-tahun menimba ilmu di perguruan tinggi dengan biaya berjuta!?(Halaman 215)

Kesimpulan
Bagi sastra, menyampaikan kritik sosial adalah salah satu cara memposisikan sastra sebagai media pelepasan kegelisahan, keprihatinan, dan bahkan kemarahan masyarakat. Kritik sosial merupakan tanggapan pengarang  terhadap fenomena permasalahan yang ada disekelilingnya, sehingga dapat dikatakan bahwa seorang pengarang tidak bisa lepas dari pengaruh sosial budaya masyarakatnya.  Dalam cerpen “Belian” karya Korrie Layun Rampan, terdapat kritikan untuk orangtua yang memaksakan kehendaknya, serta ritual belian yang dianggap musygil.

Daftar Rujukan
Endraswara, Suwardi. 2013. Teori Kritik Sastra. Jakarta: PT Buku Seru
Rampan, Korrie Layun. 2003. Teluk Wengkay. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wellek, Rene, dan Austin Werren. 2014. Theory of Literature atau Teori Kesusastraan,
              terj. Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Yudiono K.S. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasiondo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar