Pendahuluan
Karya sastra merupakan karya penulis yang dituangkan
melalui sastra lisan atau sastra tulis dengan ide-ide yang kreatif dan imajinatif.
Karya sastra sesungguhnya tidak pernah lepas dari kondisi masyarakat, karena
sastra merupakan realitas sosial yang ada di kehidupan nyata. Pada hakikatnya,
sastra adalah sebuah ide, gagasan atau pikiran, serta perasaan yang ingin disampaikan penulis kepada
masyarakat melalui sebuah karya sastra. Kehidupan
masyarakat dan realitas sosial yang terdapat dalam karya sastra menjadi sebuah
proses penciptaan karya, mengenai apa yang terjadi pada manusia dengan
kehidupan sosialnya.
Menurut Yudiono (2009:57) metode sosiologi sastra
merupakan seperangkat alat untuk memahami hubungan antar karya sastra dengan
kehidupan sosial yang melingkupinya berdasarkan pandangan bahwa karya sastra
itu diciptakan pengarang sebagai individu yang pasti berada dalam lingkungan
masyarakat, sehingga masuk akal apabila
karya sastra mengungkapkan berbagai masalah yang terjadi sesuai dengan gagasan
atau persepsi pengarang yang bersangkutan. Dengan kata lain, metode sosiologi
sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat mengenai
sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang
yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi
politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya.
Peneliti mengkaji cerpen Belian karya Korrie Layun Rampan dengan tinjauan sosiologi sastra,
akan tetapi dengan ruang batas lingkup mengenai Kritik Sastra yang terdapat
dalam novel tersebut. Cerpen Belian
karya Korrie Layun Rampan ini adalah cerpen yang menyajikan persoalan yang
terjadi dalam masyarakat khususnya kepercayaan masyarakat dengan gaya cerita
yang lugas dan tidak berbelit-belit. Cerpen ini bercerita tentang daerah Temula
tentang segala macam kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh halus ataupun dewa
yang dapat menyembuhkan penyakit, dan lain sebagainya.
Alasan penulis mengambil topik “Kritik Sosial dalam Cerpen Belian Karya Korrie Layun ” karena
mengenai topik dan objek memiliki keterkaitan. Maka, sosiologi dan sastra
sama-sama menguraikan masalah masyarakat mengenai bagaimana hubungan manusia,
lingkungannya, adat-istiadatnya dan apa yang menjadi masalah sosial yang
terjadi di masyarakat, dan dalam cerpen Berlian
ini menguraikan masalah sosial dengan lingkungan tokoh utama yang percaya
dengan belian, penyembuhan orang sakit ala dukun Dayak Beuaq.
Pengkajian dalam cerpen Belian ini menggunakan teori kritik sosial, karena dalam cerpen ini
penulis menuangkan kegelisahannya melalui sebuah cerita sederhana dan kemudian
ditemukan beberapa yang sebenarnya adalah kritikan penulis untuk disampaikan
kepada masyarakat, bahwa inilah yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat
sehingga sangat penting dikaji dengan teori kritik sosial. Kritik sosiologi
akan menunjukkan kepada pembaca bahwa setiap karya merupakan cermin kehidupan sosial dan budaya (Suwardi Endaswara, 2013: 111). Dengan kata lain, kritik yang
berdasarkan dari sosiologis berpusat pada masyarakat, dan kritik sosiologi ini
juga berpusat pada unsur luar sebagai latar belakang masyarakat, pengarang, dan
karyanya. Sedangkan menurut Marbun, kritik sosial adalah suatu tanggapan atau
kecaman yang kadang-kadang disertai dengan uraian dan pertimbangan baik maupun
buruknya suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Dengan kata lain dapat
dikatakan, kritik sosial sebagai tindakan adalah membandingkan serta mengamati
secara teliti dan melihat perkembangan secara cermat tentang baik atau buruknya
kualitas suatu masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah
menyampaikan bahwa karya sastra dijadikan salah satu media alternatif untuk
menyampaikan “pemberontakan” terhadap realitas kehidupan yang tidak sesuai
dengan harapan masyarakat.
Kerangka Teori
Kerangka teori yang akan dibahas
adalah sebagai berikut:
1. Teori Strukturalisme
Menurut Sangidu
(2004 : 16), strukturalisme memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang
terdiri atas beberapa unsur yang saling
berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Analisis struktural
bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan
semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya
sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 2013:135).
Adapun teori
struktural yang digunakan untuk menganalisis novel ini adalah teori Struktural
Stanton (2007: 12-47) yang membagi unsur intrinsik fiksi menjadi tiga bagian,
yaitu fakta cerita, tema, dan sarana sastra. Dalam penelitian kali ini, teori
struktural yang digunakan ialah
struktural dari Robert Stanton yang
meliputi tema, alur, latar, dan tokoh.
Tema merupakan aspek
cerita sejajar dengan “makna“ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan
suatu pengalaman baru diingat. Menurut Stanton (2007:20) tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita.
Secara umum, alur
merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur
biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja.
Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak
dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh
pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26).
Menurut
Stanton (2007: 27) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam
fakta cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi
oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Pengelompokannya, yaitu
waktu, tempat, dan sosial.
Istilah “tokoh“
merujuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap
pertanyaan. Tokoh cerita (character) adalah
orang-orang yang ditampilkan dalam suatukarya naratif, atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan da kecendeerngan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
2. Kajian Sosiologi
Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata
sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu sosio dari kata socius yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan, dan teman, dan logi dari kata logos yang berarti sabda, perkataan, dan perumpamaan. Selanjutnya
terjadi perubahan makna, socius
berarti masyarakat dan logos berarti
ilmu. Jadi, sosiologi adalah ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan
masyarakat. Sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu san yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan
intruksi, dan tra yang berarti alat,
dan sarana. Jadi, sastra adalah alat untuk mengajar atau pengajaran yang baik.
Sosiologi adalah ilmu yang membahas tentang masyarakat.
Sosiologi atau ilmu
masyarakat
ialah mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan
sosial masyarakat (dalam Soerjono Seokanto, 2005: 20). Sastra diciptakan oleh
pengarang berdasarkan kenyataan atau realitas yang ada dalam lingkungan sosial
masyarakat, sehingga karya sastra tidak lepas dari masyarakat karena masyarakat
merupakan cerminan dari sastra. Artinya, sastra lahir dari lingkungan atau
kelompok-kelompok sosial.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian yag
bersifat relaktif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin
melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial yang
berhasil memicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang
sukses
adalah yang mampu merefleksikan zamannya (Suwardi Endraswara (2003:77).
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan
Austin Warren (2014:100) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi
yakni:
1. Sosiologi
pengarang yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik,
dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang
2. Sosiologi
karya sastra yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra sedangkan
menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra
tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya
3. Sosiologi
sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap
masyarakat.
3. Kritik Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik adalah
kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik
buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Adinegoro (1958:10)
mengungkapkan bahwa kritik adalah salah satu ciri dan sifat penting dari
persitiwa otak manusia, sehingga kritik dapat dijadikan dasar untuk berpikir
dan mengembangkan pikiran. Kritik tidak dimaksudkan untuk meruntuhkan sesuatu
melainkan untuk memperbaiki hal yang dianggap tidak sesuai dan akhirnya untuk
mendapatkan kemajuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosial adalah
berkenaan dengan masyarakat. Dari definisi kritik sosial tersebut, kritik
sosial didapati 2 golongan yaitu kecamanan dan tanggapan dengan menjadikan
kritik sebagai suatu pemikiran serta pengembangan untuk mengupas apa yang
terdapat dalam sosial masyarakat.
Seorang
kritkus sastra saat ini harus mampu mengupas apa yang ada dalam karya sastra,
salah satunya dari segi sosial. Sehingga yang dimaksud dengan kritik sosial adalah
suatu ajakan, usul, atau ajuran yang bisanya terselubung dituangkan dalam
novel, lakon, film. Kritik itu bertujuan untuk mengadakan perbaikan terhadap
suatu keadaan dalam masyarakat yang dianggap tidak memuaskan (Soenarjati
Djajanegara, 2005: 1).
Kritik Sastra Baru (new critism) merupakan aliran kritik
sastra pernah berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat hingga tahun
1950-an, merupakan gerakan atau aliran sastra yang melawan pendekatan historis,
biografis, dan impresionistis. Kritik itu berpendapat bahwa karya sastra dengan
segala struktur atau susunannya yang rumit itu dijelaskan berdasarkan analisis
strukturnya sendiri sehingga seni instrinsiklah yang seharusnya tampil di
permukaan (Yudiono 2009: 48).
Berdasarkan hal tersebut dalam kritik sastra
diperlukan untuk mengetahui serta membedah strukturnya sehingga akan terlihat
apa yang sedang penulis sampaikan melalui pembedahan struktur tersebut.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode
deksriptif kualitatif, yang bertujuan untuk memberikan gambaran, deskripsi,
atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Metode penelitian
kualitatif adalah metode yang menghasilkan temuan-temuan data tanpa menggunakan
prosedur statistika karena tidak bersifat mengukur. Jadi, akan digunakan metode
deksriptif kualitatif untuk bertujuan menggambarkan secara sistematis sebuah
fenomena yang diselidiki dengan cara mengintreprestasi data yang ditemukan
tanpa perhitungan statistik.
Instrumen Penelitian
Berdasarkan teori yang sudah dikemukakan, peneliti
mengambil instrumen penelitian berupa menggali unsur strukturnya, yaitu tema,
latar, dan amanat kemudian dijelaskan berdasarkan temuan tersebut apa yang
sebagai Kritik Sosial.
Hasil Analisis
Hasil analisisnya
adalah sebagai berikut:
A. Tema
Tema dalam cerpen Belian karya Korrie Layun Rampan adalah
kepercayaan masyarakat yang tidak bisa lepas pada mantra belian. Hal ini
diperoleh dari kutipan:
Kenyataan ini
membuat aku menjadi gamang, mengapa pertolongan kebaikan yang berdasarkan
pengetahuan dan akal sehat ditolak, sementara sesuatu yang musykil justru
diterima dengan keyakinan sepenuh hati? Mungkin ibu sangat kecewa karena aku
tidak mampu menjadi pahlawan, dan profesiku bukanlah pekerjaan yang
membanggakan. Ternyata dukun belian dipercayai daripada dokter yang selama
bertahun-tahun menimba ilmu di perguruan tinggi dengan biaya berjuta!?(Halaman
215)
“Tak bisa
sebulan dua, bahkan tidak juga setahun. Mengubah sesuatu yang sudah mendarah
daging berarti mengubah generasi,” kata ibu saat aku laporkan kegalauanku.
(Halaman 215)
B. Latar
Latar dalam cerpen Belian karya Korrie Layun Rampan dibagi
menjadi 3, diantaranya adalah waktu, tempat, dan sosial. Hal ini diperoleh dari
kutipan:
1. Latar
Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
·
Rasaku
aku menjadi canggung setelah tahun-tahunku
di dalam masa remaja dihabiskan dalam pergulatan ilmu pengetahuan. (Halaman
209)
·
Semuanya
seperti dipisahkan oleh tirai malam yang
gulita. (Halaman 209)
·
Lima belas tahun yang lalu aku
dipisahkan ibu dengan segala upacara yang kurasakan mendidihkan darahku.
(Halaman 210)
·
Bahkan
selama lima belas tahun aku
terhilang karena kesibukanku dengan pelajaran dan keinginan ibu agar aku segera
menggantikan beliau jika aku lulus sebagai dokter. (Halaman 211-212)
·
Enam tahun sebelumnya aku
tinggalkan kampung ibu, sebuah desa yang diyakini ibu sebagai permulaan
kehadiran nenek-moyangnya, karena menurut dongeng leluhur di kampung itulah
manusia pertama diturunkan dari langit. (Halaman 212)
·
“Tak
bisa sebulan dua, bahkan tidak juga setahun. Mengubah sesuatu yang sudah
mendarah daging berarti mengubah generasi,” (Halaman 215)
·
“Kau
harus sabar, sesabar belian menyembuhkan pasiennya. Kau lihat mereka menari
hampir sepanjang malam? Kau bekerja
lebih mudah karena siang, tetapi
belian? Di siang hari mereka membuka
ladang atau berburu di hutan, dan di malam
hari mereka menari untuk memulangkan penyakit ke bukit-bukit kesukaan.
Bahkan tak jarang mereka harus bertarung sesama belian karena berebutan gengsi.
(Halaman 215)
·
“Hanya
satu bulan sudah menyerah? Hanya
sebulan seorang sarjana sudah angkat tangan?” (Halaman 216)
·
“Selama
ratusan tahun kakek dari kakek dari
kakekmu secara turun-temuran memelihara belian dan mempertahankan adat
istiadat” (Halaman 216)
·
Dua puluh sembilan hari aku bertahan untuk
tidak terlibat di dalam upacara belian agar terpelihara gengsi seorang dokter,
akan tetapi pada hari yang ketiga puluh
ini aku tak dapat menahan diri. (Halaman 217)
·
Selama
dua puluh tujuh tahun aku tak pernah memikirkan wanita karena harus menjadi
pahlawan versi ibu, namun selama sebulan
di Temula perasaan aneh sering meremas jantungku jika aku melihat Ule.
(Halaman 218)
·
Bulan baru muncul di
langit
saat aku pamit pada Ule di halaman rumahnya. (Halaman 219)
·
Cahaya bulan tampak
kelabu pada
pintu rumah ibu. (Halaman 219)
2.
Latar Tempat
Latar
tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi.
·
Berbagai
bunyi yang terpadu di dalam lou membayangkan
sebuah kegaduhan yang porak-poranda. (Halaman 207)
·
Segalanya
campur aduk dengan berbagai aroma yang dibawa udara di seluruh lou seperti aroma dupa-dupaan yang
dibakar di dalam dapur pedupaan dan
bau masakan yang ditaruh di dalam beberapa talam tembaga berkaki tinggi di
bawah juntaian peralatan belian di tengah arena.
(Halaman 207-208)
·
Begitu
kata Paman Usan, dan aku mempercayainya sampai aku di dorong ibu untuk pergi
melanjutkan sekolahku di sebuah sekolah menengah di ibu kota provinsi.(Halaman 208)
·
Ibu
sebenarnya yang membuat aku jadi terpisah dari suasana desa segala rona yang tersulam di dalamnya. (Halaman 209)
·
Kutahu
perlawanan dari Paman Usan, dahulu, sebelum ibu memaksaku pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan.
(Halaman 211)
·
Ibu
mengadakan selamatan merayakan keberhasilanku dan ia menjual beberapa guci
antik peninggalan kakek untuk biaya kuliahku di Surabaya. (Halaman 212)
·
Tak
sempat lagi aku ke Temula karena aku
harus mengejar tahun ajaran baru. (Halaman 212)
·
Enam
tahun sebelumnya aku tinggalkan kampung ibu, sebuah desa yang diyakini ibu sebagai permulaan kehadiran nenek-moyangnya,
karena menurut dongeng leluhur di kampung
itulah manusia pertama diturunkan dari langit. (Halaman 212)
·
Bahkan
aku baru sampai tarap sebagai penonton yang justru begitu terpesona dengan
berbagai atraksi belian di arena lou.
(Halaman 213)
·
“Dokter
itu untuk orang kota” (Halaman 213)
·
“Orang
desa seperti kami ini hanya bisa
disembuhkan dengan belian” (Halaman 213)
·
“Kau
harus sabar, sesabar belian menyembuhkan pasiennya. Kau lihat mereka menari
hampir sepanjang malam? Kau bekerja lebih mudah karena siang, tetapi belian? Di
siang hari mereka membuka ladang atau
berburu di hutan, dan di malam hari
mereka menari untuk memulangkan penyakit ke bukit-bukit kesukaan. Bahkan tak jarang mereka harus bertarung
sesama belian karena berebutan gengsi. (Halaman 215)
·
Tiga
anaknya tak ada yang menggarap hutan peninggalan kakekku, bahkan berhektar-hektar petak rotan hanya
disuruh urus oleh saudaranya. (Halaman 215)
·
Apakah
tidak sebaiknya aku kembali ke Surabaya
dan kemudian mengambil spesialisasi di Jakarta
sambil membuka praktik. (Halaman 217)
·
Selama
dua puluh tujuh tahun aku tak pernah memikirkan wanita karena harus menjadi
pahlawan versi ibu, namun selama sebulan di Temula perasaan aneh sering meremas jantungku jika aku melihat Ule.
(Halaman 218)
·
Kutuntun
Ule pulang menuruni tangga kayu menuju halaman
lou. (Halaman 218)
3. Latar
Sosial
Latar
sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
·
Bahkan
aku pernah belajar beberapa bahasa mantra salah satu jenis belian bowo yang
banyak digunakan masyarakat setempat untuk mengusir roh-roh jahat. (Halaman
208)
·
Mereka
melakukan pengorbanan apa saja lewat upacara yang begitu memakan waktu, tenaga,
dan biaya agar kematian itu tak lagi menjemput berulang. (Halaman 211)
·
Bersama
pasien lainnya tak sepeser pun aku menarik biaya, sementara untuk menjadi
pasien belian mereka harus membawa beras, ayam, dan babi yang disertakan di
dalam upacara. (Halaman 213)
·
Telah
menjadi kesepakatan bersama bahwa dokter merupakan profesi priyayi modern.
(Halaman 213)
·
Banyak
yang menolak pertolongan dokter, terutama yang tua-tua. (Halaman 214)
·
“Kau
harus sabar, sesabar belian menyembuhkan pasiennya. Kau lihat mereka menari
hampir sepanjang malam? Kau bekerja lebih mudah karena siang, tetapi belian? Di
siang hari mereka membuka ladang atau berburu di hutan, dan di malam hari
mereka menari untuk memulangkan penyakit ke bukit-bukit kesukaan. Bahkan tak
jarang mereka harus bertarung sesama belian karena berebutan gengsi. (Halaman
215)
C. Amanat
Amanat dalam cerpen “Belian” karya Korrie Layun Rampan
adalah ritual atau tradisi yang sudah melekat di suatu daerah, tentulah tidak
mudah untuk mengubahnya begitu saja. Sebagai masyarakat, perlulah menghormati
ritual atau tradisi tersebut walaupun tanpa mengikutsertakan diri.
D. Perwujudan Kritik Sosial dalam cerpen “Belian” karya Korrie Layun Rampan
Berikut
ini adalah penjabaran mengenai kritik yang terdapat dalam cerpen, diantaranya
sebagai berikut:
1.
Mengkritik orangtua yang selalu memaksa
kehendaknya
Tokoh Sentaru harus menuruti
perintah ibunya untuk menjadi seorang dokter, lantaran ayahnya dan
kakak-kakaknya menjadi polisi, sehingga tidak dapat melepas pikiran masyarakat
untuk meninggalkan rituall belian. Tokoh Sentaru pun ketika lulus dari Surabaya
harus kembali ke kampung tempat ritual belian, berusaha untuk menghentikan keyakinan masyarakat yang musykil, dan
memperkenalkan pengetahuan dan akal sehat untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Tokoh Sentaru merasa gamang, karena dirinya tidak dapat dihargai menjadi
dokter, dan tidak bisa menjadi pahlawan bagi ibunya. Dan kegamangan itu terjadi
ketika Sentaru bertemu dengan Ule, padahal di satu sisi ibunya terus-terusan
membujuk Sentaru untuk bertahan dan terus berusaha menghilangkan ritual
tersebut.
“Hanya
satu bulan sudah menyerah? Hanya sebulan seorang sarjana sudah angkat tangan?”
ibu seakan mengejekku. (Halaman 216)
“Kau harus sabar,
sesabar belian menyembuhkan pasiennya. Kau lihat mereka menari hampir sepanjang
malam? Kau bekerja lebih mudah karena siang, tetapi belian? Di siang hari
mereka membuka ladang atau berburu
di hutan, dan di malam hari mereka menari untuk memulangkan penyakit ke bukit-bukit
kesukaan. Bahkan tak jarang mereka harus bertarung sesama belian karena
berebutan gengsi. (Halaman 215)
2.
Mengkritik ritual belian
Ritual belian adalah ritual
penyembuhan orang sakit ala dukun beruaq yang diiringi dengan musik yang
bersaing dengan kegelapan, dan dalam ritual tersebut ada mantra-mantra yang
digunakan untuk memanggil roh-roh halus untuk mengeluarkan penyakit yang
diderita. Dan tokoh Ibu sangat menentang ritual belian, karena menurutnya hal
tersebut sangat musygil, walaupun tokoh ibu merupakan turunan dari ayah yang
seorang kepala adat.
Kenyataan ini
membuat aku menjadi gamang, mengapa pertolongan kebaikan yang berdasarkan
pengetahuan dan akal sehat ditolak, sementara sesuatu yang musykil justru
diterima dengan keyakinan sepenuh hati? Mungkin ibu sangat kecewa karena aku
tidak mampu menjadi pahlawan, dan profesiku bukanlah pekerjaan yang membanggakan.
Ternyata dukun belian dipercayai daripada dokter yang selama bertahun-tahun
menimba ilmu di perguruan tinggi dengan biaya berjuta!?(Halaman 215)
Kesimpulan
Bagi sastra, menyampaikan kritik sosial adalah salah
satu cara memposisikan sastra sebagai media pelepasan kegelisahan,
keprihatinan, dan bahkan kemarahan masyarakat. Kritik sosial merupakan
tanggapan pengarang terhadap fenomena
permasalahan yang ada disekelilingnya, sehingga dapat dikatakan bahwa seorang
pengarang tidak bisa lepas dari pengaruh sosial budaya masyarakatnya. Dalam cerpen “Belian” karya Korrie Layun Rampan, terdapat kritikan untuk
orangtua yang memaksakan kehendaknya, serta ritual belian yang dianggap
musygil.
Daftar Rujukan
Endraswara, Suwardi.
2013. Teori Kritik Sastra. Jakarta:
PT Buku Seru
Rampan, Korrie Layun.
2003. Teluk Wengkay. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wellek, Rene, dan
Austin Werren. 2014. Theory of Literature
atau Teori Kesusastraan,
terj. Melani Budianta. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Yudiono K.S. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia.
Jakarta: PT Grasiondo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar