Sabtu, 04 Juni 2016

RESENSI NOVEL KAMBING DAN HUJAN KARYA MAHFUD IKHWAN OLEH NITA OKTAVIYA




RESTU DI PERSIMPANGAN ZAMAN
Judul               : Kambing dan Hujan
Penulis            : Mahfud Ikhwan
Penerbit          : Bentang Pustaka
Edisi               : Cetakan Pertama, Mei 2015
Tebal              : 374 Halaman
Harga              : Rp. 69.000
            Berbicara mengenai kepenulisan, kini banyak bermunculan ajang kepenulisan yang mencari penulis dengan tujuan merangsang dan meningkatkan kreativitas pengarang di Indonesia. Seperti ajang Sayembara Menulis Novel yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di setiap tahunnya. Pada tahun 2014, Dewan Kesenian Jakarta menobatkan Mahfud Ikhwan sebagai pemenang dalam Sayembara Menulis Novel dengan karya yang berjudul Kambing dan Hujan. Sebelum memenangkan kontes Sayembara Menulis Novel ini, Mahfud Ikhwan pernah menuliskan novel pertamanya yang berjudul “Ulid” di tahun 2009, namun sayangnya tidak sampai pada tangan pembaca dikarenakan proses penerbitan yang cukup menguras nuraninya untuk bersabar dan memilih untuk memunculkan karya berikutnya.
Novel Kambing dan Hujan yang diterbitkan pada tahun 2015 ini mendapat sambutan hangat serta banjir pujian dari para penikmat sastra yang suka akan bacaan populer. Lantaran genre yang diusung dalam novel ini merujuk pada pembaca remaja, Mahfud Ikhwan yang merupakan mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Gajah Mada mencoba membuka perspektif orang mengenai dua hal yang amat kontroversional di Indonesia, yakni mengenai dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Konflik yang sejatinya perihal masalah pilihan, kemudian dibalut dengan kisah cinta antara Fauzia dan Miftah. Konflik antara dua anak muda ini lantas membuka tabir rahasia yang membuat kedua orang tuanya saling berseberangan pendapat.
Novel ini mulanya berkisah dari dua orang yang saling bersahabat, Mat dan Is. Keduanya pada masa itu tahun 1960’an menjadi bocah angon yang menggembala kambing desa. Keduanya berasal dari keluarga yang berbeda, Mat lebih beruntung sehingga ia dapat menuntaskan pendidikannya di Pondok Pesantren Jombang. Setelah menamatkan SR (Sekolah Rakyat)-sebutan bagi sekolah dasar yang ada pada masa penjajahan Jepang-Mat dan Is berpisah. Is tetap berada di desanya, desa Tegal Centong untuk tetap menjadi pengembala kambing serta memutuskan belajar mengaji dengan Cak Ali.
Singkat waktu, persahabatan keduanya menjadi mengkhawatirkan oleh karena Is menjadi pemuda Centong yang mencoba membawa pembaruan terhadap agama Islam di desa tersebut. Kesenjangan antara golongan tua dan golongan muda-tentunya Is dan kawan-kawannya-mulai terlihat. Hal tersebut diperlihatkan saat Is dan kawan-kawannya membangun sebuah musholla dengan kegiatan solat subuh tanpa qunut ataupun hal-hal yang mereka anggap bid’ah. Mat yang mengetahui hal tersebut sangat menyesali yang dilakukan Is, oleh sebab Is membawa pembaruan dengan cara yang tidak mudah diterima oleh golongan kaum tua, hal ini seperti menyuguhkan kopi kepada tamu dengan cara membentak. Kisah keduanya menjadi ujung jawaban atas cinta Mif dan Zia. Mif adalah seorang anak dari Pak Kandar, Iskandar tepatnya, sedangkan Zia adalah seorang anak dari Pak Fauzan, Muhammad Fauzan yang dulunya dipanggil Mat.
Miftakhul Abrar atau yang disebut Mif tumbuh dalam tradisi Islam modern. Berbeda dengan Fauzia yang merupakan anak seorang tokoh Islam tradisional. Namun, latar belakang keduanya malah membuat jurang yang ingin memisahkan oleh karena perbedaan tata cara beribadah maupun waktu hari raya. Konflik antara sepasang anak dan sepasang ayah sekaligus sahabat ini menggambarkan bagaimana perbedaan memang benar-benar bisa menjadi penghalang besar.  Sebuah tembok yang memisahkan dua insan yang begitu mencintai satu sama lain, dan dua orang yang saling menyayangi dan menghormati, yang semasa kecil sering angon bareng itu.

"Kita dulu mengira bapak-bapak kita adalah dua musuh bebuyutan yang tak terdamaikan. Ternyata, mereka dua sahabat karib, bahkan memanggil dengan panggilan "saudara". Bukannya itu justru sangat menggembirakan?" -Kambing dan Hujan, hlm. 52

Bila ketika hujan, Mat dan Is akan meneduhkan kambingnya, hal itulah yang kemungkinannya sangat kecil mempertemukan kambing dengan hujan, meskipun hal tersebut bukan berarti tidak  mungkin. Sama seperti judulnya, Kambing dan Hujan bagaikan analogi antara minyak dan air yang keduanya sama-sama tergolong zat cair tetapi bila disatukan akan seperti memisah. Sama seperti Mat dan Is, keduanya bertentangan soal golongan, Mat ada pada golongan kaum tua atau Muhamadiyah, sedangkan Is berada golongan kaum tua atau Nahdatul Ulama. Pada kenyataannya, kedua golongan Islam ini seolah-olah membuat beda diantara sesama muslim. Begitulah Muhamadiyah-NU berusaha membuat satu sebagai muslim.
Buku-buku dan pengalamannya saling bekerjasama agar Mahfud dapat menuliskannya dalam sebuah novel yang kini menyentil kehidupan nyata yaitu bersatunya NU dan Muhammadiyah yang ada pada masa kini. Meskipun hal tersebut sampai kapanpun tidak akan bersatu sebab merupakan dua hal yang kontradiktif.
Novel yang menggunakan bahasa populer namun tetap tidak keluar pada kaidah berbahasa yang sopan meski tidak baku membuat pembacanya tidak akan merasa kesulitan menangkap makna yang dikandung. Alur yang digunakan ialah alur maju dengan menggunakan cerita berbingkai dimana terdapat cerita lagi di dalam cerita. Selain itu, hal yang menarik dalam novel ini yaitu sampulnya yang bergambar botol susu perah ini bukanlah menceritakan tentang hewan yang sungguhan, inilah kelebihan novelnya ketika sampul terlihat "tidak serius" namun isi cerita di dalam buku jauh dari novel sastra-sastra lain yang bercerita lebih mengalir, sederhana, dan mudah dicerna. Meski demikian, novel ini menjadi lebih menjenuhkan ketika bacaan demi bacaan terlihat lebih padat karena tata letak tulisan tidak dibuat menjadi sub bab,
Novel roman yang mengisahkan peliknya permasalahan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini mampu memikat hati pembaca. Menariknya novel ini merupakan sebuah bacaan yang bermanfaat agar kita tidak terlalu kaku dan radikal dalam menghadapi dua hal yang kontradiktif.



2 komentar:

  1. dalam hal ini peresensi telah meresensi buku dengan menggunakan teori Gorys Keraf dengan tepat. 4 pokok sub, yaitu latar belakang, nilai buku, keunggulan buku, dan jenis buku telah dipaparkan semua. namun sayangnya porsi peresensi dalam menjelaskan tentang ringkasan cerita novel tersebut terlalu banyak.

    BalasHapus
  2. resensi yang dipaparkan oleh nita sudah baik dan benar karena mengikuti kaidah teori resensi oleh gorys keraf. namun ada baiknya untuk bagian identitas buku di tulis dalam bentuk narasi bukan poin-poin saja. kemudian pada paragraf ke 8 hanya terdapat 2 kalimat saja, harusnya dalam 1 paragraf minimal terdapat 3 kalimat.

    BalasHapus