Selasa, 22 Maret 2016

Lipatan Jurus Pendekar Tionghoa Masa Lampau

Oleh: Nicko Pratama Suhendar

Seorang Kurator Seni Rupa, Hendrowiyanto. Memberi informasi tentang sebuah buku yang berjudul “Melipat Air: Jurus Budaya Pendekar Tionghoa” yang ditulis oleh Agus Dermawan T. Pada tanggal 1 Februari 2016. Sangat menarik informasi  yang ditulis oleh saudara Hendrowiyanto.Dalam artikelnya berjudul “Pesan Dagang dan Pesan Politik” Terlihat sekilas layak disebut sebagai sebuah resensi. Namun, jika diteliti dan dibaca berulang-ulang. Ada beberapa hal yang mungkin Hendrowiyanto lupa untuk menulisnya.

Pertama, Hendrowiyanto tidak memberi informasi lebih tentang isi buku. Bahkan tidak terdapat sinopsis pada tulisannya. Hanya ada beberapa uraian tentang kalimat di buku tersebut. Contohnya “Hei, kau masih hidup? Kukira kau sudah mati, tenggelam api revolusi!” (Halaman 180). Mungkin lebih aduhai jika Hendrowiyanto membuat sinopsis tentang buku ini. Pasti-lah ada nilai lebih yang bisa membuat pembaca menjadi berminat untuk membaca buku ini.

Yang kedua, Hendrowiyanto tidak menuliskan genre buku ini. Yang di-maksudkan ialah, pasti untuk pembaca baru Ia sulit untuk menebak, apa buku ini termasuk Fiksi, atau-kah non-fiksi. Karena dari tulisan Hendrowiyanto, hanya menjelaskan tentang tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita. Seolah-olah seperti biografi. 

Ketiga, Hendrowiyanto mungkin sedikit lupa. Karena Ia lupa menuliskan sasaran pembaca. Maksudnya, pasti kita pernah mendengar. Tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi kepembacaannya. Jika salah seorang pembaca yang mungkin sedang tingkat sekolah dasar atau menengah pertama, melihat dari judul buku ini, pasti mengira buku ini adalah komik-komik tionghoa seperti karya Kho Ping Hoo atau jurus-jurus sakti untuk berkelahi.

Keempat, Nilai buku. Hendrowiyanto sekali lagi lupa menulis tentang gambaran buku ini. Kekurangan-kekurangan buku ini. Pembaca bahkan tidak disajikan tentang keunggulan buku. Hendrowiyanto hanya mengedepankan gambaran tokoh-tokoh di dalam buku ini.
Ke-lima. Identitas pengarang. Memang tidak banyak juga, seseorang ketika meresensi memberi informasi lebih tentang pengarang/penulis. Hendrowiyanto nampaknya sedang terkena penyakit lupa atau kurang istirahat. Alhasil resensi yang diberikan begitu adanya.

1 komentar:

  1. Mengacu pada teori yang dikemukakan Gorys Keraf, bahwa dalam resensi sekiranya ada 4 aspek yang bisa ditelusuri. Di antaranya mencakup latar belakang buku, jenis buku, nilai buku, hingga keunggulan/kelemahan (terdiri atas organisasi, isi, bahasa, dan teknik). Semua aspek tersebut secara subjektif mampu dijadikan sebagai landasan pun tolak ukur yang memadai ketika mengomentari resensi.

    Pada komentar Nicko, tidak semua aspek disinggung terlebih dibahas secara mendalam. Dari kelima poin yang dipaparkan Nicko, kelimanya mengacu pada isi, genre, sasaran, nilai buku, dan identitas (tercakup dalam latar belakang) semata. Padahal, jika ditelusuri lebih mendalam, ada banyak aspek yang bisa dibedah dari resensi Hendrowiyanto tersebut.

    Mengutip sedikit tulisan Nicko yang mengatakan bahwa Hendrowiyanto mungkin lupa hingga menyebabkan keluputan saat meresensi. Maka saya di komentar ini juga ingin menyatakan bahwa Nicko mungkin lupa pada urusan-urusan yang lebih detail. Pun mungkin saya bila komentar ini dikomentari lagi. Sekiranya dengan ini membuktikan bahwa lupa adalah persoalan yang manusiawi ketika menulis.

    BalasHapus