Oleh Ummi Anisa (2125142201)
Ketika akan memutuskan untuk membeli atau membaca sebuah buku, umumnya
masyarakat akan cenderung mencari referensi atau bahan bacaan mengenai
seluk-beluk buku tersebut. Menimang apakah akan semakin tertarik atau malah
mengurungkan niat untuk membeli atau membaca buku tersebut. Salah satu
referensi tersebut dapat berupa sebuah resensi.
Resensi sendiri berasal
dari bahasa Latin, yaitu dari kata
kerja revidere atau recensere. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
resensi merupakan pertimbangan atau pembicaraan tentang buku (ulasan buku).
Sedangkan menurut Gorys Keraf −salah seorang ahli bahasa ternama di
Indonesia− resensi didefinisikan sebagai ”Suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya
atau buku” (Keraf, 2001 : 27).
Dalam buku Komposisi
karya Gorys Keraf, beliau mengemukakan bahwa terdapat empat pokok yang
dijadikan sebagai sasaran penilaian sebuah buku. Yang pertama adalah latar
belakang. Latar belakang sendiri dibagi menjadi beberapa kategori yang terbagi
atas identitas buku, pengenalan pengarang, tema besar, serta rangkuman buku.
Dalam resensi buku Melipat Air: Budaya Pendekar Tionghoa
yang berjudul Pesan Dagang dan Pesan
Politik oleh Hendro Wiyanto, sang
peresensi memang mencantumkan identitas buku, namun hanya berupa poin-poin
saja. Dan dalam identitas buku, peresensi juga tidak menginformasikan harga
dari buku tersebut, yang tentunya bagi beberapa orang, harga buku merupakan
informasi yang sangat penting untuk mempertimbangkan jika akan membeli sebuah
buku. Selain itu, sangat disayangkan karena peresensi tidak menerangkan secara
singkat mengenai sosok sang penulis, apa saja karya yang telah dibuat atau
prestasi apa yang telah didapatnya. Sedikit biografi mengenai penulis tentunya
akan menambah wawasan serta daya tarik pembaca untuk memecahkan rasa penasaran
terhadap buku yang akan dibaca atau dibeli. Lebih lanjut, peresensi telah
mengungkapkan tema yang dibahas pada buku Melipat
Air: Budaya Pendekar Tionghoa, yaitu mengenai profil 3 tokoh seniman
Tionghoa pada masa kerusuhan 1965. Begitu pula dengan rangkuman buku, dalam
resensi tersebut, sang peresensi memang menuliskan mengenai isi dari buku
tersebut. Namun, porsi yang digunakan terlalu besar. Dapat dilihat, dari 7
paragraf yang ada, 6 di antaranya hanya mengulas mengenai isi atau konten dari
buku tersebut. Kemudian, pada 1 paragraf terakhir, peresensi baru mengutarakan
pendapat atau kesimpulannya mengenai buku tersebut.
Yang kedua adalah jenis atau macam buku, yaitu
penggolongan buku yang diresensi. Sang peresensi tidak menglasifikasikan
mengenai buku tersebut. Termasuk dalam kategori atau golongan manakah buku
tersebut, apakah termasuk buku fiksi atau non-fiksi, novel atau buku biografi,
dan lain sebagainya sehingga dapat dibandingkan dengan buku yang sejenis.
Yang ketiga ialah keunggulan buku. Sang peresensi tidak mengulas mengenai
keunggulan buku tersebut, beliau hanya mengatakan bahwa terdapat pesan dagang
dan pesan politik yang samar bisa dipetik. Selain keunggulan, nampaknya
peresensi juga enggan mengemukakan mengenai kekurangan buku tersebut, baik dari
segi fisik (tampilan) maupun isi.
Yang keempat sekaligus yang terakhir adalah nilai
buku. Nilai buku sendiri terbagi atas organisasi, isi, bahasa, dan teknik. Di
dalam resensi tersebut sang peresensi tidak menjelaskan tentang keempat unsur
yang ada pada nilai buku. Di mana nilai sebuah buku tentunya akan semakin jelas
ketika buku tersebut ingin dibandingkan dengan karya-karya lainnya (baik itu
karya dari pengarang yang sama ataupun berbeda).
Dari paparan di atas,
dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan resensi buku Melipat Air:
Budaya Pendekar Tionghoa yang berjudul Pesan
Dagang dan Pesan Politik belumlah mumpuni. Seperti yang dikemukakan oleh Gorys Keraf bahwa tujuan
menulis resensi adalah: ”…menyampaikan
kepada pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya sastra patut mendapat
sambutan dari masyarakat atau tidak?” (Keraf, 2001).
Saya cukup setuju dangan paparan Ummi Anisa dari segi penganalisisan buku. Namun ada kalimat yang seharusnya digunakan sebagai kalimat penghubung seperti "dan" digunakan di awal kalimat. Serta kalimat penghubung kalimat terasa kurang tepat jika digunakan pada awal kalimat. Kata pertama, kedua,lebih cocok digunakan pada poin-poin dibandingkan pada paragraf.
BalasHapusTerima kasih
Naswati