Selasa, 22 Maret 2016

Analisis terhadap isi resensi “Pesan Dagang dan Pesan Politik”

Oleh Ummi Anisa (2125142201)

Ketika akan memutuskan untuk membeli atau membaca sebuah buku, umumnya masyarakat akan cenderung mencari referensi atau bahan bacaan mengenai seluk-beluk buku tersebut. Menimang apakah akan semakin tertarik atau malah mengurungkan niat untuk membeli atau membaca buku tersebut. Salah satu referensi tersebut dapat berupa sebuah resensi.
Resensi sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), resensi merupakan pertimbangan atau pembicaraan tentang buku (ulasan buku). Sedangkan menurut Gorys Keraf salah seorang ahli bahasa ternama di Indonesia resensi didefinisikan sebagai ”Suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya atau buku” (Keraf, 2001 : 27).
Dalam buku Komposisi karya Gorys Keraf, beliau mengemukakan bahwa terdapat empat pokok yang dijadikan sebagai sasaran penilaian sebuah buku. Yang pertama adalah latar belakang. Latar belakang sendiri dibagi menjadi beberapa kategori yang terbagi atas identitas buku, pengenalan pengarang, tema besar, serta rangkuman buku. Dalam resensi buku Melipat Air: Budaya Pendekar Tionghoa yang berjudul Pesan Dagang dan Pesan Politik oleh Hendro Wiyanto, sang peresensi memang mencantumkan identitas buku, namun hanya berupa poin-poin saja. Dan dalam identitas buku, peresensi juga tidak menginformasikan harga dari buku tersebut, yang tentunya bagi beberapa orang, harga buku merupakan informasi yang sangat penting untuk mempertimbangkan jika akan membeli sebuah buku. Selain itu, sangat disayangkan karena peresensi tidak menerangkan secara singkat mengenai sosok sang penulis, apa saja karya yang telah dibuat atau prestasi apa yang telah didapatnya. Sedikit biografi mengenai penulis tentunya akan menambah wawasan serta daya tarik pembaca untuk memecahkan rasa penasaran terhadap buku yang akan dibaca atau dibeli. Lebih lanjut, peresensi telah mengungkapkan tema yang dibahas pada buku Melipat Air: Budaya Pendekar Tionghoa, yaitu mengenai profil 3 tokoh seniman Tionghoa pada masa kerusuhan 1965. Begitu pula dengan rangkuman buku, dalam resensi tersebut, sang peresensi memang menuliskan mengenai isi dari buku tersebut. Namun, porsi yang digunakan terlalu besar. Dapat dilihat, dari 7 paragraf yang ada, 6 di antaranya hanya mengulas mengenai isi atau konten dari buku tersebut. Kemudian, pada 1 paragraf terakhir, peresensi baru mengutarakan pendapat atau kesimpulannya mengenai buku tersebut.
Yang kedua adalah jenis atau macam buku, yaitu penggolongan buku yang diresensi. Sang peresensi tidak menglasifikasikan mengenai buku tersebut. Termasuk dalam kategori atau golongan manakah buku tersebut, apakah termasuk buku fiksi atau non-fiksi, novel atau buku biografi, dan lain sebagainya sehingga dapat dibandingkan dengan buku yang sejenis.
Yang ketiga ialah keunggulan buku. Sang peresensi tidak mengulas mengenai keunggulan buku tersebut, beliau hanya mengatakan bahwa terdapat pesan dagang dan pesan politik yang samar bisa dipetik. Selain keunggulan, nampaknya peresensi juga enggan mengemukakan mengenai kekurangan buku tersebut, baik dari segi fisik (tampilan) maupun isi.
Yang keempat sekaligus yang terakhir adalah nilai buku. Nilai buku sendiri terbagi atas organisasi, isi, bahasa, dan teknik. Di dalam resensi tersebut sang peresensi tidak menjelaskan tentang keempat unsur yang ada pada nilai buku. Di mana nilai sebuah buku tentunya akan semakin jelas ketika buku tersebut ingin dibandingkan dengan karya-karya lainnya (baik itu karya dari pengarang yang sama ataupun berbeda).
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan resensi buku Melipat Air: Budaya Pendekar Tionghoa yang berjudul Pesan Dagang dan Pesan Politik belumlah mumpuni. Seperti yang dikemukakan oleh Gorys Keraf bahwa tujuan menulis resensi adalah: ”…menyampaikan kepada pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya sastra patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak?” (Keraf, 2001).

1 komentar:

  1. Saya cukup setuju dangan paparan Ummi Anisa dari segi penganalisisan buku. Namun ada kalimat yang seharusnya digunakan sebagai kalimat penghubung seperti "dan" digunakan di awal kalimat. Serta kalimat penghubung kalimat terasa kurang tepat jika digunakan pada awal kalimat. Kata pertama, kedua,lebih cocok digunakan pada poin-poin dibandingkan pada paragraf.
    Terima kasih
    Naswati

    BalasHapus