Rabu, 30 November 2016

Teater Zat: Terus Berproses Dalam Rangka Menjaga Stabilitas Seni Teater Di UNJ

Teater Zat: Terus Berproses
Dalam Rangka Menjaga Stabilitas Seni Teater Di UNJ
 Oleh: Mia Karnia Sari
Sastra Indonesia - UNJ


"Meretas batas melawan keterbatasan" kira-kira seperti itulah gaung motivasi yang menjadi kekhasan dari Teater ZAT. Sebuah komunitas teater yang hidup dan tumbuh bersama di Jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia UNJ ini memang selalu tampil prima dengan jargon yang cukup untuk melahirkan bibit penasaran dalam benak siapa pun yang membacanya.
Seni teater di UNJ hingga sejauh ini cukup berkembang adanya. Tentu hal tersebut di dukung oleh kehadiran komunitas-komunitas teater yang ada di dalamnya. Teater ZAT adalah salah satu pion yang turut memberikan sumbangsihnya dalam teritorial teater di UNJ. Teater ZAT hadir dengan segala proses kreatif yang senantiasa ditumbuhkembangkan dengan beragam agenda seputar wilayah per-teateran. Dalam rangka menjaga stabilitas komunitas seni teater di UNJ, tak lelah-lelahnya Teater ZAT menggiatkan diri melalui agenda-agenda rutin maupun agenda besar yang menjadi persembahan khusus untuk masyarakat kampus.

Seseorang Yang Bisa Disebut “Pahlawan” Bagi Mahasiswa JBSI dan Sekitarnya



 Nopriandi Saputra (2125143345)


 Jika kita mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta, terutama dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pastinya kita sering melihat seorang tukang es sekaligus penjual rokok yang berada ditengah-tengah antara gedung O dan gedung Q. Seorang yang memiliki perawakan gendut, suaranya yang ngebass dan selalu menggunakan topi setiap berjualan. Orang-orang disekitar situ sering memanggilnya dengan sebutan Bang Bule. Bule sendiri merupakan singkatan dari sebuah namanya yaitu Burhan Lebar (Bule).

Sabtu, 18 Juni 2016

PENGARUH KAPITALISME TERHADAP ADAT ISTIADAT TORAJA DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG: KAJIAN MARXISME ANTROPOLOGI



Latifah
2 SIS
Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta
2016

PENDAHULUAN
Antropologi dalam bidang kajian terhadap karya sastra memang tidak sepopuler psikologi atau sosiologi sastra. Dalam analisis karya sastra menggunakan psikologi sastra maka kita akan mendapatkan konflik batin yang terbangun dari tokoh. Untuk sosiologi sastra, akan terlihat bagaimana peran masyarakat dalam membentuk kondisi sosialnya. Sedangkan dalam antropologi sastra terdapat analisis segi kebudayaan.
Nyoman Kutha Ratna menyebutkan bahwa antopologi merupaka ilmu interdisiplin terakhir yang berkembang setelah psikologi dan sosiologi. Ditandai oleh kemunculan artikel dari Fernando Poyatos (1988) yang berjudul Literary Anthropology: A New Interdiciplinary Aproach to People, Sign, and Literature. Meski demikian, sumbangsih ilmu antropologi dalam analisis terhadap karya sastra tidak dapat diremehkan. Sebagai cerminan masyarakat, karya sastra tidaklah hanya terdiri dari segi psikologis atau sosialnya saja. Suwardi Edraswara mengatakan antropologi dan sastra memiliki kesamaan yaitu memperhatikan aspek manusia dengan seluruh prilakunya yang kemudian berkembang menjadi sebuah budaya.
Sebuah kebudayaan dalam masyarakat tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Untuk melihat bagaimana masyarakat, maka ada sebuah ideologi yang familiar digunakan dalam membaca masyarakat yaitu marxisme. Menurut Karl Marx, melihat masyarakat yang utama yaitu melalui perekonomian. Agenda besarnya yakni menghilangkan pertentangan kelas yang menurutnya terjadi akibat kemunculan era kapitasilistik setelah runtuhnya sistem feodalisme.
Jhon Clammer yang kemudian mengulas pemikiran kalangan para marxisme terhadap antropologi dalam memahami gejala ekonomi di dalam masyarakat. Dalam esai-esainya, Clammer menjelaskan persinggungan antara antropologi dan marxisme. Di mana ekonomi yang merupakan kajian dalam marxisme memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan kebudayaannya yang menjadi kajian dari ilmu antropologi.
Sebagaimana historisnya, pada zaman Yunani kuno terdahulu, para penguasa mendongengkan tentang macam-macam Dewa agar masyarakatnya menyibukkan diri dengan menyembah dan menjadi tunduk kepada mereka. Cara-cara seperti ini yang kemudian dimodifikasi oleh kaum kapitalis sehingga mampu mempengaruhi masyarakat bahkan secara tidak sadar.
Keberadaan kapitalisme yang kemudian memanfaatkan budaya sebagai alat terdapat dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang. Karya yang menjadi pemenang keempat sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini menjadikan Toraja dan perangkat budayanya sebagai latar. Salah satunya yaitu upacara pemakaman yang bernama Rambu Solo di mana dalam upacara tersebut pihak keluarga yang ditinggalkan diharuskan memiliki modal yang cukup besar. Terutama untuk keluarga dari pemuka adat. Bertaruhlah antara gengsi keluarga dengan penjualan tanah adat kepada seorang pengusaha yang telah lama mengincar.
Kemudian antropologi marxisme berperan dalam menyibak kekentalan adat istiadat Toraja yang justru disuburkan demi kepentingan kaum kapitalis. Mungkin saja apa yang ditemukan dalam analisis terhadap novel ini merupakan refleksi dari keadaan budaya masyarakat hari ini.
ISI
Kapitalisme
Kemunculan istilah kapitalisme dalam sejarahnya tidak lepas dari sebuah peristiwa besar yang kita kenal dengan Revolusi Industri Perancis yang terjadi pada 1789 (Tan Malaka: 1947). Revolusi saat itu bicara tentang ketidakadilan sistem feodalisme yang diterapkan oleh kerajaan di Perancis. Setiap rakyat yang bukan keturunan ningrat atau bagian dari gereja, maka harus menanggung beban pajak yang besar. Seluruh tanah dan produksi dikuasai oleh kerajaan yang mana rakyat hanya bisa hidup pas-pasan saja.
Keruntuhan feodalisme di Perancis lalu digantikan dengan kepemilikan tanah secara pribadi. Di mana kemudian eksislah kaum pedagang memproduksi beragam kebutuhan. Sejak itu kemudian dunia mengenal yang namanya logika pasar.
Alangkah baiknya bila kita mengenal dulu tentang perdagangan. Untuk bisa berdagang, maka harus ada produk yang dihasilkan. Dalam praktek menghasilkan produk, ada tiga unsur penting yang tak pernah lepas, yaitu alat produksi, bahan baku, dan tenaga kerja.
Di dalam pasar, antar produk kemudian bersaing menjual keunggulannya masing-masing. Tujuan utama dalam perdagangan adalah keuntungan, maka pengusaha melakukan banyak cara agar bisa menekan biaya produksi hingga keuntungan yang didapatpun akan lebih besar. Tidak seperti alat produksi dan bahan baku yang termasuk dalam biaya bersifat konstan, tenaga kerja masuk dalam biaya variabel alias dapat berubah. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pengusaha untuk menekan biaya tersebut.
Kritik dari Karl Marx terhadap kondisi pasar tersebut ialah, kapitalisasi yang dilakukan oleh pengusaha. Di mana para pekerja dibuat teralienasi dari produk yang mereka buat sendiri. Bahwa pekerja tidak memiliki hak untuk memegang saham pada perusahaan tempat mereka bekerja. Para pengusaha tersebut sibuk memperkaya diri mereka sendiri tanpa memikirkan nasib dari pekerja mereka. Di sinilah terjadi kesenggangan antara dua kelompok yang oleh Marx di sebut pertentangan kelas. Marx sendiri membaginya menjadi dua kelas, borjuis dan proletar.
Marxisme Antropologi
Dalam pandangan Marxisme, lingkup antropologi dekat kaitannya dengan pembagasan ekonomi politik. Pendekatan antropologi marxisme menurut Clammer (2003:1),  memang kalah popularitasnya dari pendekatan yang jauh lebih umum digunakan dalam jagat penelitian antropologi seperti fungsionalisme struktural dari Malinowski atau Radcliffe Brown hingga Raymond Firth yang matang dengan konsep struktur dan fungsi.
Hingga kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Althusser (1971), Godelier (1977), yang menggunakan Marxisme untuk membedah masyarakat. Kemudian mengakhiri dengan konsep kebudayaan dan mengkonversinya menjadi analisis tentan ideologi. Gagasan Marxis sendiri yaitu tentang mode produksi, organisasi produksi, hubungan sosial produksi, atau hubungan-hubungan dialektis antara basis dan superstruktur masyarakat.
KRITERIA ANALISIS
Kategori Sejarah
Williams dalam Kuntowijoyo (2006: 6) menyebutkan bahwa dalam sosiologi budaya kita menemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga-lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya atau norma-norma. Lembaga budaya menanyakan siapa menghasilkan produk budaya, siapa mengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa yang diusahakan; dan efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu.
            Berdasarkan sejarah Indonesia, Kuntowijoyo (2006:6) merekontruksi kategori sejarah dan proses simbolisnya dalam tabel berikut:
Kategori Sejarah
Proses Simbolis
Lembaga
Simbol
Norma
Tradisional Patrimonial
Masyarakat abdi dalem raja
Perintah
Mistis

Mistis
Komunal

Kepatuhan
Kapitalis
Professional
Pasar
Penawaran
Realis
Individualis
Teknokratis
Profesional
Negara
Pesanan
Pseudorealis
Modifikasi prilaku

Dalam tabel tersebut penggunaan kata kategori dinilai lebih tepat daripada periode, hal ini disebabkan bahwa kategori itu bukan selalu merupakan urutan yang bergantian, tetapi dapat saling tumpah-tindih, sekalipun pada dasarnya ada urutan kronologinya.
Pada kategori tradisional, tampak jelas norma solidaritas dan partisipasi sebagai ideologi. Di sini kita menemukan bahwa cita-cita egalitarian diwujudkan dalam berbagai mite, tabu, dan tradisi lisan yang menunjang ideologi itu. Sedangkan dalam patrimonial, yang ideologinya “kawulo-gusti”, kita menemukan norma yang melegetimasikannya dan berusaha memberikan control Negara atas masyarakat dengan bentuk simbolis nerupa babad, tabu, mite, dan hasil-hasil seni yang mengeramatkan raja.
Pada tabel tersebut, Kuntowijoyo tidak mengkategorikan kolonialisme secara khusus dikarenakan kolonialisme itu sendiri dapat merupakan percampuran patrimonial dan kapitalis. Terakhir, kemunculan kategori teknokratis merupakan upaya untuk menyatakan kekecewaan dengan realisme di satu pihak.
Perubahan Sosial
            Perubahan sosial salah satunya terjadi dengan munculnya kelas menengah di kota-kota, yang terdiri dari golongan intelektual, pedagang, dan pengusaha. Pada mulanya golongan kelas menengah ini tidak memusatkan perhatian pada kebudayaan. Mereka cenderung bicara dalam politik dan ekonomi. Namun kemudian kelas menengah itu pun akhirnya menjadi pendukung kebudayaan baru.
Di kota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada Kebudayaan Nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreativitas kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, rasa kepemilikan orang desa terhadap tradisi jauh lebih besar. Masalah etnosentrisme tidak lagi menjadi masalah budaya masa kini, karena di samping adanya kebudayaan nasional kebudayaan daerah tetap merupakan nilai-nilai yang luhur.
DAFTAR RUJUKAN
Clammer, Jhon. 2003. Anthropology and Political Economy: Theoretical and Asian Perspectives. (Terj. Ilham B. Saenong) Yogyakarta: SADASIVA.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta: PENERBIT OMBAK.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: TIARA WACANA.
Malaka, Tan.  2014.  Dari Penjara ke Penjara. Yogyakarta: PENERBIT NARASI.
Oddang, Faisal. 2015. Puya ke Puya. Jakarta: KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA.

SISTEM RELIGI DALAM CERPEN BELIAN KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN: KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA



Latifah
2 SIS
Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta
2016
PENDAHULUAN
Antropologi dalam bidang kajian terhadap karya sastra memang tidak sepopuler psikologi atau sosiologi sastra. Dalam analisis karya sastra menggunakan psikologi sastra maka kita akan mendapatkan konflik batin yang terbangun dari tokoh. Untuk sosiologi sastra, akan terlihat bagaimana peran masyarakat dalam membentuk kondisi sosialnya. Sedangkan dalam antropologi sastra terdapat analisis segi kebudayaan.
Nyoman Kutha Ratna menyebutkan bahwa antropologi merupakan ilmu interdisiplin terakhir yang berkembang setelah psikologi dan sosiologi. Ditandai oleh kemunculan artikel dari Fernando Poyatos (1988) yang berjudul Literary Anthropology: A New Interdiciplinary Aproach to People, Sign, and Literature. Meski demikian, sumbangsih ilmu antropologi dalam analisis terhadap karya sastra tidak dapat diremehkan.
Ernest Cassier dalam Kuntowijoyo (2006: 6) mengatakan dalam pengalaman perjalanan sejarah manusia, tak selalu kita menemukan harmoni dalam berbagai kegiatan budaya manusiawi. Sebaliknya, kita justru mendapatkan pertarungan terus menerus antara berbagai kekuatan yang saling bertentangan. Misalnya, pemikiran ilmiah bertentangan dan berupaya mendepak pemikiran mistis.
Namun dalam cerita pendek Belian karya Korrie Layun Rampan, justru kita akan menemukan bagaimana kekuatan kepercayaan masyarakat suku Dayak di Kalimantan, khususnya di Temula, terhadap tradisi Belian. Kepercayaan mistis ini merupakan kajian yang terdapat dalam antropologi sastra.
 Pembatasan masalah dalam artikel ini yaitu pada analisis terhadap sistem religi. Di mana untuk mendapatkan analisa sistem religi dapat melihat kategori sejarah dari budaya tersebut. Kemudian bagaimana sistem religi ini berpengaruh terhadap perubahan sosial.

TEORI
Analisa Kebudayaan
            Menurut Koentjara dalam Nyoman Kutha Ratna (2011: 74) menunjukan tujuh cirri kebudayaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi cirri-ciri antropologis, yaitu: a) peralatan dan perlengkapan kehidupan manusia, b) mata pencaharian dan sistem ekonomi, c) sistem kemasyarakatan, d) bahasa, baik secara lisan maupun tulisan, e) kesenian dan berbagai mediumnya, seperti seni lukis, seni rupa, seni tari, seni drama, dan sebagainya, khususnya seni sastra, f) sistem pengetahuan, dan g) sistem religi.
Kategori Sejarah
            Williams dalam Kuntowijoyo (2006: 6) menyebutkan bahwa dalam sosiologi budaya kita menemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga-lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya atau norma-norma. Lembaga budaya menanyakan siapa menghasilkan produk budaya, siapa mengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa yang diusahakan; dan efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu.
            Berdasarkan sejarah Indonesia, Kuntowijoyo (2006:6) merekontruksi kategori sejarah dan proses simbolisnya dalam tabel berikut:
Kategori Sejarah
Proses Simbolis
Lembaga
Simbol
Norma
Tradisional Patrimonial
Masyarakat abdi dalem raja
Perintah
Mistis

Mistis
Komunal

Kepatuhan
Kapitalis
Professional
Pasar
Penawaran
Realis
Individualis
Teknokratis
Profesional
Negara
Pesanan
Pseudorealis
Modifikasi prilaku

Dalam tabel tersebut penggunaan kata kategori dinilai lebih tepat daripada periode, hal ini disebabkan bahwa kategori itu bukan selalu merupakan urutan yang bergantian, tetapi dapat saling tumpah-tindih, sekalipun pada dasarnya ada urutan kronologinya.
Pada kategori tradisional, tampak jelas norma solidaritas dan partisipasi sebagai ideologi. Di sini kita menemukan bahwa cita-cita egalitarian diwujudkan dalam berbagai mite, tabu, dan tradisi lisan yang menunjang ideologi itu. Sedangkan dalam patrimonial, yang ideologinya “kawulo-gusti”, kita menemukan norma yang melegetimasikannya dan berusaha memberikan control Negara atas masyarakat dengan bentuk simbolis nerupa babad, tabu, mite, dan hasil-hasil seni yang mengeramatkan raja.
Pada tabel tersebut, Kuntowijoyo tidak mengkategorikan kolonialisme secara khusus dikarenakan kolonialisme itu sendiri dapat merupakan percampuran patrimonial dan kapitalis. Terakhir, kemunculan kategori teknokratis merupakan upaya untuk menyatakan kekecewaan dengan realisme di satu pihak.
Perubahan Sosial
            Perubahan sosial salah satunya terjadi dengan munculnya kelas menengah di kota-kota, yang terdiri dari golongan intelektual, pedagang, dan pengusaha. Pada mulanya golongan kelas menengah ini tidak memusatkan perhatian pada kebudayaan. Mereka cenderung bicara dalam politik dan ekonomi. Namun kemudian kelas menengah itu pun akhirnya menjadi pendukung kebudayaan baru.
Di kota-kota dan di lapisan atas masyarakat sudah ada Kebudayaan Nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional menjadi semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreativitas kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, rasa kepemilikan orang desa terhadap tradisi jauh lebih besar. Masalah etnosentrisme tidak lagi menjadi masalah budaya masa kini, karena di samping adanya kebudayaan nasional kebudayaan daerah tetap merupakan nilai-nilai yang luhur.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam analisa cerpen Belian yaitu metode deskriptif analitik. Nyoman Kutha Ratna (2011: 351) menjelaskan dalam menganalisis karya sastra dapat menggunakan metode deksriptif analitik atau yang dalam ilmu sosial disebut sebagai metode deskriptif kualitatif.
ANALISIS
            Unsur religi yang terdapat dalam cerpen Belian merupakan kepercayaan terhadap tradisi Belian.  Dalam suku Dayak Beuaq, tradisi Belian dilaksanakan sebagai upaya untuk mengobati penyakit. Adapun ritual yang digunakan berupa tarian yang diiringi oleh musik berirama keras. Bersamaan dengan itu, dilakukan pula pembakaran dupa. Mantra-mantra diucapkan dan dipercaya mampu mengusir roh-roh jahat.
            Kata-kata itu seakan mengandung tuah yang memiliki nyawa karena berasal dari para dewa yang menjaga kesehatan dan kebugaran.kata-kata itu seperti napas yang memenuhi rongga dada dan terhirup lewat hidung kehidupan. (Belian, hlm. 208)
            Alat dalam Belian dinamakan Selolo yang disentuhkan pada bagian yang sakit untuk menyembuhkan terbuat dari daun pisang. Animisme juga terdapat dalam Belian. Disebutkan sebagai kesembuhan, Belian biasanya menunjukkan benda-benda penyebab penyakit, biasanya berupa miang, taring ular, bilah bamboo, batu, bahkan daun puding yang masih segar.
Kadang penyakit itu berupa tali yang melingkari pinggang yang umumnya membuat anak-anak yang seharusnya sudah bisa berjalan, seakan lumpuh. Kadang juga berupa beras yang bersemayam di dada atau di kening yang membuat seseorang menjadi sesak napas atau kepala menjadi pening. (Belian, hlm. 211)
            Selama ribuan tahun lamanya, masyarakat suku Dayak mempercayai hal mistis sekalipun harus mengorbankan diri mereka sendiri.
Mereka melakukan pengorbanan apa saja lewat upacara yang begitu memakan waktu, tenaga, dan biaya agar kematian itu tak lagi menjemput berulang. (Belian, hlm. 211)
Di tengah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, masyarakat suku Dayak dalam cerpen Belian nyatanya masih belum tertarik menanggalkan tradisi mereka yang sarat akan mitos. Tradisi Belian dalam ilmu pengetahuan rasional dinilai tidak masuk akal.
“Ibu sudah jemu dengan keyakinan yang menghambat karena tidak berinti pada akal sehat,” ibu memandang wajahku, dulu. (Belian, hlm. 212)
Letak geografis masyarakat suku Dayak yang berada di Kalimantan Timur memang jauh dari pusat kota yaitu DKI Jakarta. Berdasarkan tabel yang tertera, masyarakat kota, berada dalam kategori sejarah Kapitalis. Di mana kondisi masyarakatnya telah realis dan bersifat individualis. Sedangkan suku Dayak masuk sebagai kategori sejarah Tradisional Patrimonial. Meski dalam hal ini, bentuk dari patrimonial tidak ditunjukan, namun simbol dan norma yang muncul tetap sama. Simbol mistis dan norma komunal.
Di mana keinginan tokoh Ibu yang diejawantahkan dalam perjuangan Sentaru, puteranya, untuk mengubah pola pikir masyarakat. Ia kemudian menyekolahkan Sentaru di kota untuk menggapai gelar dokter dengan pengharapan agar masyarakat mau meninggalkan Belian.
Namun keberadaan Sentaru sebagai dokter di Temula ternyata hanya dianggap omong kosong oleh masyarakat suku Dayak.
“Dokter itu untuk orang kota,” kata seorang tetua yang kudatangi rumahnya. “Orang desa seperti kami ini hanya bisa disembuhkan dengan Belian,: ia pandang wajahku seperti menyimpan ketakutan. “Apalagi kalau harus membayar.” (Belian, hlm. 213).
KESIMPULAN
Unsur religi yang terdapat dalam cerpen Belian adalah kepercayaan terhadap tradisi Belian. Di mana letak geografis masyarakat suku Dayak yang berada di Kalimantan yakni jauh dari pusat kota sehingga tradisi dan mitos masih dipegang kuat. Kemudian perubahan sosial yang coba dibawa oleh Sentaru dan ibunya nyatanya masih belum bisa berpengaruh untuk mengubah keyakinan masyarakat suku Dayak terhadap Belian.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: TIARA WACANA.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.